Buku
Catatan Harian Abdi Allah
Santa Maria
Faustina Kowalska
anggota
Kaul Kekal dari
Kongregasi Santa Perawan Maria Berbelas Kasih
Buku
1
(1)
O, Kasih Abadi, Engkau memerintahkan supaya Gambar Kudus-Mu dilukis, dan Engkau
mewahyukan kepada kami sumber kerahiman yang tak terselami. Engkau memberkati
siapa saja yang menghampiri sinar-Mu dan jiwa yang serba hitam akan berubah
menjadi seputih salju. O Yesus yang manis, di sinilah Engkau membangun takhta
kerahiman-Mu untuk membawa sukacita dan pengharapan kepada manusia yang
berdosa. Dari hati-Mu yang terbuka, ibarat dari suatu sumber yang jernih,
mengalirlah penghiburan kepada hati dan jiwa yang bertobat. Semoga pujian dan
kemuliaan bagi Gambar ini tidak pernah berhenti mengalir dari jiwa manusia.
Semoga pujian kepada kerahiman Allah meluap dari setiap hati, kini, dan pada
setiap saat, dan selama-lamanya. O Allahku.
(2)
Apabila aku menatap ke masa depan, aku menjadi takut, tetapi buat apa mencebur
ke dalam masa depan ? Hanya saat sekarang yang berharga bagiku, sebab masa
depan sama sekali belum pasti akan bertandang dalam jiwaku. Sama sekali tidak
ada dalam kekuasaanku, untuk mengubah, mengoreksi, atau menambah sesuatu pada
masa lampau; sebab baik orang bijak maupun para nabi tidak dapat melakukannya.
Maka, apa yang telah direngkuh oleh masa lalu harus kuserahkan kepada Allah. O
masa kini, engkaulah milikku sepenuhnya. Aku ingin menggunakanmu sebagaimana
aku dapat. Meskipun aku lemah dan kecil, Engkau memberi aku rahmat, yakni
kemahakuasaanmu. Maka, sambil berserah kepada kerahiman-Mu, aku meniti hidupku
seperti seorang anak kecil, sambil setiap hari mempersembahkan kepada-Mu hatiku
yang bernyala-nyala karena cinta akan kemuliaan-Mu yang semakin besar.
(3)
Allah dan Jiwa-jiwa.
Raja Kerahiman, bimbinglah jiwaku.
Sr.
Maria Faustina dari Sakramen Mahakudus. Vlnius, 28 Juli 1934.
(4)
O Yesusku, karena berserah kepada-Mu, aku merangkai ribuan bunga, dan aku tahu bahwa mereka semua akan bermekaran ketika Mentari Allah bersinar atas mereka.
O
Sakramen yang agung dan ilahi, yang menyelubungi Allahku! Yesus, sertailah aku
setiap saat, maka rasa takut tidak akan menyusup ke dalam hatiku.
(5)
Allah dan Jiwa-jiwa.
O Tritunggal yang mahakudus, terpujilah Engkau kini dan sepanjang segala masa.
Terpujilah Engkau dalam segala karya-Mu dan dalam segala makhluk-Mu.
Ya Allah, semoga keagungan kerahiman-Mu dikagumi dan dimuliakan.
(6)
Aku harus menuliskan perjumpaan-perjumpaan jiwaku dengan-Mu, ya Allah, yakni perjumpaan pada saat-saat kunjungan-Mu yang istimewa.
Aku harus menulis tentang Engkau, Yang Tak Terselami dalam kerahiman-Mu terhadap jiwaku yang papa. Kehendak-Mu yang kudus adalah kehidupan jiwaku. Aku telah menerima perintah ini lewat orang yang bagiku adalah wakil-Mu di bumi ini, yang mengartikan kehendak-Mu yang kudus bagiku.
Yesus, Engkau melihat betapa sulit bagiku untuk
menulis, betapa aku tak mampu merumuskan dengan jelas apa yang aku alami dalam
jiwaku. Ya Allah, dapatkah sebuah pena menuliskan sesuatu yang sering kali
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata? Tetapi, Engkau memberiku perintah
untuk menulisnya, ya Allah; ini sudah cukup bagiku.
(7)
Warsawa, 1 Agustus 1935. Masuk Biara.
Sejak
usia tujuh tahun, aku mengalami panggilan yang jelas dari Allah, yakni rahmat
panggilan untuk hidup membiara. Pada tahun ketujuh dari hidupku itulah, untuk
pertama kalinya, aku mendengar suara Allah dalam jiwaku; yakni, suatu undangan
untuk menempuh kehidupan yang lebih sempurna. Tetapi, aku tidak selalu patuh
kepada panggilan rahmat ini. Aku tidak menjumpai seorang pun yang dapat
menjelaskan hal ini kepadaku.
(8)
Aku memasuki tahun kedelapan belas dalam hidupku. Aku mengungkapkan permintaan
yang tulus kepada orang tuaku untuk mendapat izin masuk biara. Orang tuaku
menolak mentah-mentah. Sesudah penolakan ini, aku kembali menjalani hal-hal
yang sia-sia dalam hidup ini, tanpa memperhatikan lagi panggilan rahmat itu
meskipun jiwaku tidak menemukan kepuasan apa pun dalam hal-hal itu. Panggilan
rahmat yang tak kunjung berhenti itu menjadi siksaan yang berat bagiku; tetapi
aku berusaha menekannya dengan aneka hiburan. Dalam hati, aku mengelak dari
Allah, dan dengan segenap hatiku berpaling kepada makhluk-makhluk. Tetapi,
rahmat Allah berjaya dalam jiwaku.
(9)
Sekali peristiwa, aku mengikuti pesta dansa bersama salah seorang saudari.
Sementara setiap orang menikmati sukacita, jiwaku mengalami siksaan yang hebat.
Tatkala aku mulai menari, tiba-tiba aku melihat Yesus di sisiku. Yesus tersiksa
oleh rasa sakit, pakaian-Nya dilucuti, dan tampak seluruh tubuh-Nya penuh
dengan luka. Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku,
“Berapa lama Aku harus bersabar menunggumu dan berapa lama engkau akan terus mencobai Aku ?”
Pada
saat itu, musik yang memesona itu tidak terdengar lagi olehku, teman-teman yang
ada bersamaku hilang dari pandanganku; hanya tinggal Yesus dan aku. Aku
mengambil tempat duduk di dekat saudariku tercinta, pura-pura sakit kepala untuk
menutupi apa terjadi dalam jiwaku. Sesaat kemudian, diam-diam aku menyelinap
keluar, meninggalkan saudariku dan semua temanku, dan aku berjalan menuju
katedral St. Stanislaus Kostka.
(10)
Kemudian aku mendengar kata-kata ini,
“Pergilah segera ke Warsawa; di sana engkau akan masuk biara!”
Aku
beranjak dari doaku, pulang ke rumah, dan mengemasi barang-barang yang perlu
kubawa. Sejauh aku dapat, aku menceritakan kepada saudariku apa yang terjadi di
dalam jiwaku. Aku mengatakan kepadanya untuk menyampaikan selamat tinggal
kepada orang tua kami, dan dengan demikian, dengan hanya membawa pakaian yang
aku kenakan, tanpa membawa barang lain apa pun, aku tiba di Warsawa.
(11)
Ketika aku turun dari kereta api dan menyaksikan semua orang pergi menyusuri
jalan masing-masing, aku dicekam oleh rasa takut. Apa yang harus kulakukan ?
Kepada siapa aku harus pergi karena aku tidak mengenal seorang pun di Warsawa ?
Maka aku berkata kepada Bunda Allah.
“Maria, tuntunlah aku, bimbinglah aku.”
Serta
merta, aku mendengar dalam hatiku kata-kata yang memberitahukan kepadaku agar
aku meninggalkan kota dan pergi ke suatu desa yang tidak jauh dari kota itu,
tempat aku akan menemukan rumah yang aman untuk bermalam. Aku berbuat demikian
dan sungguh, aku menemukan segala sesuatu persis seperti yang dikatakan
kepadaku oleh Bunda Allah.
(12)
Pada hari berikutnya, pagi-pagi benar, aku kembali ke kota dan masuk ke gereja
pertama yang aku lihat. Di sana, aku mulai berdoa untuk mengetahui lebih lanjut
kehendak Allah. Misa kudus dirayakan yang satu sesudah yang lain. Dalam salah
satu misa itu, aku mendengar suara,
“Pergilah kepada imam itu dan katakan segala sesuatu kepadanya; ia akan memberitahukan kepadamu apa yang harus engkau lakukan kemudian.”
Sesudah
misa, aku pergi ke sakristi. Aku menceritakan kepada imam itu segala yang telah
terjadi dalam jiwaku, dan aku minta kepadanya untuk memberikan nasihat biara
manakah yang harus kumasuki.
(13)
Mula-mula imam itu heran, tetapi ia menasihati aku agar sungguh-sungguh percaya
bahwa Allah akan menjaga masa depanku.
“Untuk sementara waktu,”
katanya,
“aku akan mengirim engkau kepada seorang ibu yang saleh; dengannya engkau akan tinggal sampai kamu masuk ke biara.”
Ketika
aku datang kepada ibu ini, ia menyambutku dengan sangat ramah. Selama aku
tinggal bersamanya, aku mencari-cari suatu biara, tetapi pada pintu biara mana
pun aku mengetuk, aku selalu ditolak. Kesedihan mencekam hatiku, dan aku
berkata kepada Tuhan Yesus,
“Tolonglah aku; jangan meninggalkan aku sendirian.”
Akhirnya,
aku mengetuk pintu biara kami.
(14)
Ketika itu Muder Superior, sekarang Muder Jenderal Michaela, keluar menemui
aku. Sesudah percakapan singkat, ia menyuruh aku pergi kepada Tuan rumah itu
dan bertanya apakah Ia akan menerimaku. Aku langsung mengerti bahwa aku harus
menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan penuh sukacita, aku pergi ke
kapel dan bertanya kepada Yesus,
“Tuan rumah ini, apakah Engkau menerima aku? Aku disuruh bertanya demikian oleh seorang dari para suster-Mu.”
Sekonyong-konyong,
aku mendengar suara ini,
“Aku menerima engkau; engkau ada di dalam Hati-Ku.”
Ketika
aku keluar dari kapel, Muder Superior pertama-tama bertanya,
“Nah, sudahkah Tuhan menerima engkau?”
Aku menjawab,
“Ya!”
“Kalau Tuhan sudah menerimamu, maka aku pun akan menerimamu.”
(15)
Begitulah aku diterima. Tetapi karena banyak alasan, aku masih harus tinggal di
dunia selama lebih dari satu tahun bersama perempuan saleh itu, dan aku tidak
kembali ke rumahku sendiri. Pada waktu itu, aku harus bergulat dengan banyak
kesulitan, tetapi Allah begitu murah dengan rahmat-Nya. Suatu kerinduan yang
semakin membara akan Allah mulai menguasai hatiku. Perempuan itu, walaupun
sungguh saleh, tidak memahami kebahagiaan hidup membiara dan, dalam kebaikan
hatinya ia mulai membuat rencana lain untuk masa depan hidupku. Tetapi, aku
merasa bahwa aku memiliki hati yang begitu lapang sehingga tidak suatu pun akan
mampu memenuhinya. Maka aku mengarahkan jiwaku yang penuh rindu kepada Allah.
(16)
Kini, tibalah oktaf Hari Raya Tubuh Kristus. Allah memenuhi jiwaku dengan
terang batin, yakni suatu pengetahuan yang amat mendalam mengenai Dia sebagai Kebaikan
dan Keindahan Tertinggi. Aku mulai menyadari betapa besar cinta Allah
kepadaku. Sejak kekal kasih-Nya bagiku. Itu terjadi pada suatu Ibadat Sore.
Dengan kata-kata yang sederhana, yang mengalir dari hati, aku mengucapkan
kepada Allah kaul kemurnian kekal. Mulai saat itu aku merasakan hubungan yang
semakin mesra dengan Allah, Mempelaiku. Sejak saat itu aku selalu tinggal
bersama Yesus.
(17)
Akhirnya, tibalah saat pintu biara dibuka bagiku - itu terjadi pada 1 Agustus,
pada petang hari, pada vigili [Pesta] Maria Ratu Para Malaikat. Aku merasa
sangat bahagia; rasanya aku telah menapakkan kakiku di dalam kehidupan Firdaus.
Satu-satunya doa yang menyembur dari hatiku adalah doa syukur.
(18)
Tetapi, sesudah tiga pekan, aku sadar bahwa di biara itu begitu sedikit waktu
untuk berdoa, dan di antara banyak hal lain yang berkecamuk dalam jiwaku adalah
keinginan untuk memasuki suatu komunitas religius dengan peraturan yang lebih
ketat. Gagasan ini sungguh menguasai jiwaku, tetapi kehendak Allah tidak ada di
dalamnya. Tetapi gagasan itu atau lebih tepat godaan itu semakin hari menjadi
semakin kuat sampai pada suatu hari aku memutuskan untuk mengungkapkan rencana
itu kepada Muder Superior dan untuk seterusnya meninggalkan [biara]. Tetapi
Allah mengatur situasi sedemikian rupa sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan
Muder Superior. Sebelum pergi tidur, aku melangkah masuk ke kapel kecil dan aku
minta kepada Yesus supaya memberikan terang untuk memecahkan masalah ini.
Tetapi, aku tidak menerima suatu pun dalam jiwaku kecuali kegelisahan aneh yang
tidak aku pahami. Namun, kendati semuanya itu, aku menata hatiku untuk
menghadap Muder Superior keesokan harinya tepat sesudah misa dan memberitahukan
keputusanku kepadanya.
(19)
Aku masuk ke kamarku. Para suster sudah tidur - lampu-lampu sudah dipadamkan.
Aku masuk ke kamar dengan rasa kesedihan dan ketidakpuasan; aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan dengan diriku. Aku merebahkan diri ke lantai dan mulai
berdoa dengan mendesak agar aku boleh mengetahui kehendak Allah. Di mana-mana,
terjadi keheningan seperti dalam tabernakel. Semua suster sedang beristirahat
seperti Hosti putih terkumpul dalam piala Yesus. Hanya dari kamarkulah Allah
dapat mendengar keluh kesah suatu jiwa. Aku tidak tahu bahwa orang tidak boleh
berdoa di kamar sesudah pukul sembilan malam tanpa izin. Tak lama kemudian
cahaya terang benderang meliputi kamarku, dan pada korden aku melihat wajah Yesus
yang sangat bersedih. Ada luka segar pada wajah-Nya, dan air mata yang deras
tercurah pada selimut penutup tempat tidurku. Tanpa memahami apa arti semua
ini, aku bertanya kepada Yesus,
“Yesus, siapa yang telah menyakiti Engkau demikian?”
Dan
Yesus menjawab,
“Engkaulah yang akan menyebabkan rasa sakit-Ku ini kalau engkau meninggalkan biara ini. Ke tempat inilah Aku memanggilmu, bukan ke tempat lain, dan [di sini] Aku telah mempersiapkan banyak rahmat bagimu.”
Aku
memohon ampun dari Yesus dan seketika itu juga aku mengubah keputusanku. Hari
berikutnya adalah hari pengakuan dosa. Aku menyampaikan semua yang telah
terjadi dalam jiwaku, dan bapak pengakuan menjawab bahwa, dari semua itu,
kehendak Allah sangat jelas bahwa aku harus tetap tinggal dalam Kongregasi ini
dan aku bahkan tidak lagi berpikir tentang suatu Kongregasi religius lain.
Sejak saat itu, aku selalu merasa bahagia dan puas.
(20)
Tidak lama kemudian, aku jatuh sakit. Muder Superior yang penuh cinta
mengirimku bersama dua orang suster lain untuk beristirahat di Skolimow, tidak
jauh dari Warsawa. Pada saat itulah aku bertanya kepada Tuhan siapa lagi yang
harus aku doakan. Yesus berkata bahwa pada malam berikutnya Ia akan
memberitahukan kepadaku siapa yang harus aku doakan.
[Malam
berikutnya] aku melihat Malaikat Pelindungku, yang memerintahkan aku untuk
mengikuti dia. Dalam sekejap, aku berada di tempat berkabut yang penuh dengan
api, di mana ada satu himpunan besar jiwa yang sedang menderita. Mereka berdoa
dengan amat khusyuk bagi diri mereka sendiri, tetapi tanpa hasil bagi mereka; hanya
kita yang dapat membantu mereka. Nyala yang membakar mereka sama sekali
tidak menyentuhku. Malaikat Pelindungku tidak meninggalkan aku sesaat pun. Aku
menanyakan kepada jiwa-jiwa itu penderitaan apa yang paling mereka rasakan.
Mereka menjawab kepadaku serentak bahwa siksaan yang paling mereka rasakan
adalah kerinduan akan Allah. Aku melihat Bunda Allah mengunjungi
jiwa-jiwa di Purgatorium. Jiwa-jiwa itu menyebutnya “Bintang Samudra”.
Ia membawa kesegaran bagi mereka. Aku ingin berbicara dengan mereka lebih lama,
tetapi Malaikat Pelindungku memberi isyarat kepadaku untuk pergi. Kami keluar
dari penjara yang penuh penderitaan itu. [Aku mendengar suara dari dalam
hatiku] yang berkata,
“Kerahiman-Ku tidak menghendaki hal ini, tetapi keadilan menuntutnya.”
Sejak
saat itu, aku menghayati persekutuan yang lebih erat dengan jiwa-jiwa yang
menderita.
(21)
Akhir masa postulat (29 April 1926).
Para superiorku mengirim aku ke novisiat d
Krakow. Sukacita yang tak terlukiskan menguasai jiwaku. Ketika tiba di
novisiat, Suster.... sedang menghadapi sakratulmaut. Beberapa hari kemudian ia
datang kepadaku dan meminta supaya aku pergi kepada Muder Pembimbing Para Novis
dan mengatakan kepadanya agar ia meminta kepada bapak pengakuannya, yakni P.
Rospond, untuk mempersembahkan baginya satu misa dan tiga doa panah.
Mula-mula aku setuju, tetapi pada hari berikutnya aku memutuskan bahwa aku
tidak akan pergi menghadap Muder Pembimbing sebab aku tidak yakin apakah ini
hanya suatu mimpi atau kenyataan. Maka aku tidak pergi. Pada malam berikutnya,
hal yang sama berulang dengan lebih jelas; aku tidak ragu-ragu lagi. Tetapi
pagi harinya, aku masih memutuskan bahwa aku baru akan mengatakan hal itu
kepada Muder Pembimbing kalau aku melihat dia pada siang hari.
Sekonyong-konyong aku berjumpa dengan Suster Henryka di lorong biara. Ia
mencela aku karena tidak segera pergi, dan kegelisahan yang luar biasa memenuhi
jiwaku. Maka aku langsung menghadap Muder Pembimbing dan menceritakan kepadanya
segala sesuatu yang telah aku alami. Muder menjawab bahwa ia akan memperhatikan
hal itu. Seketika itu ketenangan menyelimuti jiwaku, dan pada hari ketiga
Suster itu datang kepadaku dan berkata,
“Semoga Allah membalasmu!”
(22)
Pada hari aku mengenakan busana [biarawati], Allah memberitahukan kepadaku
betapa banyak aku harus menderita. Dengan jelas, aku menyaksikan apa
konsekuensi dari penyerahan diriku. Sejenak aku mengalami penderitaan itu.
Tetapi kemudian, Allah kembali memenuhi jiwaku dengan penghiburan-penghiburan
yang besar.
(23)
Menjelang akhir tahun pertama novisiatku, kegelapan mulai membayangi seluruh
jiwaku. Aku merasakan tidak ada penghiburan dalam doa; untuk dapat bermeditasi,
aku harus berusaha sekuat tenaga; ketakutan mulai melanda hatiku. Semakin dalam
aku merenungi diriku, semakin aku tidak menemukan apa-apa selain kesedihan yang
mencekam. Aku pun dapat melihat dengan jelas kekudusan Allah yang agung. Aku
tidak berani mengangkat mataku kepada-Nya, tetapi merebahkan diriku ke tanah ke
bawah kaki-Nya dan memohon belas kasih-Nya. Hampir enam bulan jiwaku berada
dalam keadaan seperti ini. Di saat-saat yang sulit ini, Muder Pembimbing kami
yang terkasih membesarkan hatiku. Tetapi, semakin hari penderitaan itu semakin
berat.
Tahun
kedua novisiat sudah semakin dekat. Setiap kali merenungkan bahwa aku harus
mengikrarkan kaul-kaulku, jiwaku merasa ngeri. Aku tidak dapat memahami apa
yang sedang aku baca; aku tidak dapat bermeditasi; aku merasa bahwa doa-doaku
tidak berkenan di hati Allah. Tetapi, kendati semuanya itu, bapak pengakuanku
tidak mengizinkan aku melewatkan satu komuni kudus pun. Allah sedang bekerja
dengan sangat aneh di dalam jiwaku. Aku tidak memahami sama sekali tentang apa
yang dikatakan bapak pengakuanku kepadaku. Kebenaran-kebenaran iman yang
sederhana pun menjadi sulit aku mengerti. Jiwaku sangat sedih, tidak mampu
menemukan penghiburan di mana pun.
Pada
titik tertentu, muncul dalam hatiku kesan yang amat kuat bahwa aku ditolak oleh
Allah. Pemikiran yang mengerikan ini sangat menusuk hatiku; di tengah-tengah
penderitaan itu jiwaku mulai mengalami sakratulmaut. Aku ingin mati tetapi
tidak bisa. Dalam hatiku muncul pemikiran; apa gunanya mengupayakan
keutamaan-keutamaan; mengapa harus bermati raga kalau semua itu ditolak oleh
Allah? Ketika aku memberitahukan hal ini kepada Pembimbing para novis, aku
mendapat jawaban ini,
“Ketahuilah, Suster, bahwa Allah telah memilihmu untuk meraih kesucian yang tinggi. Ini adalah tanda bahwa Allah menghendaki Suster hidup sangat dekat dengan Dia di surga. Hendaknya Suster sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan Yesus.”
Pemikiran
mengerikan bahwa telah ditolak oleh Allah sungguh merupakan siksaan yang
diderita oleh orang terkutuk. Aku berlari kepada luka-luka Yesus dan mengulangi
kata-kata penyerahanku, tetapi kata-kata itu menimbulkan siksaan yang semakin
menyakitkan dalam diriku. Aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus, dan aku
mulai berbicara kepada Yesus,
“Yesus, Engkau berkata bahwa lebih mudah seorang ibu melupakan bayinya daripada Allah melupakan ciptaan-Nya, dan kalaupun ada ibu yang dapat melupakan bayinya, Aku Allah, tidak pernah akan melupakan ciptaan-Ku. O Yesus, tidakkah Engkau mendengar betapa jiwaku mengeluh? Sudilah mendengarkan rintihan-rintihan yang memilukan dari anak-Mu. Aku mengandalkan Engkau, ya Allah, sebab surga dan bumi akan berlalu, tetapi sabda-Mu akan bertahan selama-lamanya.”
Tetapi,
aku tetap tidak menemukan saat kelegaan.
(24)
Pada suatu hari ketika aku baru saja bangun dari tidur ketika aku menempatkan
diriku di hadirat Allah, tiba-tiba aku diliputi rasa putus asa.
Kegelapan yang pekat menyeliputi jiwaku. Aku bergulat setengah mati sampai
siang hari. Sesudah tengah hari, ketakutan-ketakutan yang sungguh mengerikan
mulai mencekam diriku; kekuatan fisikku mulai surut. Dengan cepat aku pergi ke
kamarku, berlutut di depan salib dan mulai menangis memohon belas kasih Allah.
Tetapi, Yesus tidak mendengarkan seruanku. Aku merasa kekuatan fisikku habis
sama sekali. Aku jatuh lunglai di lantai, rasa putus asa melanda seluruh
jiwaku. Aku merasakan siksaan yang mengerikan, yang tidak ada bedanya dengan
siksaan neraka. Tiga perempat jam aku berada dalam situasi seperti itu. Aku
ingin pergi dan bertemu dengan Muder Pembimbing, tetapi aku terlalu lemah. Aku
ingin berteriak, tetapi aku tidak memiliki suara. Untunglah, salah seorang
suster masuk ke kamarku. Mendapati aku dalam keadaan aneh seperti itu, ia
langsung memberi tahu Muder Pembimbing. Seketika itu juga Muder datang. Begitu
masuk ke kamarku ia berkata,
“Demi ketaatan suci, bangkitlah dari lantai”
Sekonyong-konyong,
suatu kekuatan membangkitkan aku dari lantai dan aku berdiri tegak, dekat
dengan Muder Pembimbing. Dengan kata-kata yang ramah, Muder mulai menjelaskan
kepadaku, ini adalah cobaan yang diberikan kepadaku oleh Allah, katanya,
“Percayalah dengan teguh; Allah itu senantiasa Bapa kita walaupun Ia menguji!”
Aku
kembali melaksanakan tugas-tugasku seolah-olah aku telah keluar dari kubur;
perasaanku diliputi dengan apa yang telah dialami oleh jiwaku. Dalam ibadat
sore, jiwaku mengalami sakratulmaut lagi dalam kegelapan pekat yang
mengerikan. Aku merasa bahwa aku berada dalam kuasa Allah yang adil, dan
menjadi sasaran amarah-Nya. Pada saat yang mengerikan itu, aku berkata kepada
Allah,
“Yesus, dalam Injil Engkau menyamakan diri-Mu dengan seorang ibu yang penuh kasih. Aku percaya akan sabda-Mu sebab Engkaulah Kebenaran dan Kehidupan. Apa pun juga yang terjadi, ya Yesus, aku mengandalkan Engkau meskipun dalam hatiku berkecamuk perasaan yang bertentangan dengan pengharapan. Lakukanlah apa yang ingin Kaulakukan terhadapku: Aku tidak pernah akan meninggalkan Engkau sebab Engkaulah sumber hidupku.”
Hanya
orang yang pernah mengalami saat-saat serupa itu dapat memahami betapa
mengerikan siksaan jiwa seperti itu.
(25)
Pada malam hari, Bunda Allah mengunjungi aku, sambil membopong bayi Yesus.
Hatiku dipenuhi dengan sukacita, dan aku berkata,
“Maria, Bundaku, tahukah engkau betapa mengerikan penderitaanku?”
Dan
Bunda Allah menjawab,
“Aku tahu betapa banyak kamu menderita, tetapi janganlah takut. Aku ikut menanggung penderitaanmu, dan aku akan selalu berbuat demikian.”
Ia
tersenyum ramah, lalu menghilang. Seketika itu juga, kekuatan dan keberanian
yang besar muncul dalam jiwaku; tetapi itu hanya berlangsung satu hari.
Tampaknya neraka sudah bersekongkol melawan aku. Suatu kebencian yang
mengerikan mulai merasuki jiwaku, suatu kebencian terhadap semua yang kudus
dan ilahi. Aku merasakan bahwa siksaan rohani ini akan menjadi bagianku
selama sisa hidupku. Aku kembali menghadap Sakramen Mahakudus dan berkata
kepada Yesus,
“Yesus, mempelai jiwaku, tidakkah Engkau melihat bahwa jiwaku sedang setengah mati merindukan Engkau?
Bagaimana mungkin Engkau menyembunyikan diri dari hati yang sedemikian tulus mencintai Engkau?
Ampunilah aku, ya Yesus; kiranya kehendak kudus-Mu terjadi atas diri-Ku. Aku akan menanggung penderitaan ini dengan diam seperti merpati, tanpa mengeluh. Aku sama sekali tidak akan membiarkan hatiku menyerukan keluh kesah yang menyedihkan.”
(26)
Akhir masa novisiat.
Penderitaanku tidak surut. Karena rapuh secara fisik, aku
dibebaskan dari semua latihan rohani; maksudnya, semua itu diganti dengan
doa-doa seruan yang singkat. Jumat Agung - Yesus merenggut aku ke dalam
kasih-Nya yang bernyala-nyala. Ini terjadi sewaktu adorasi sore. Dengan
tiba-tiba, kehadiran ilahi menguasai aku, dan aku lupa akan segala sesuatu yang
lain. Yesus membuat aku memahami betapa banyak Ia telah menderita bagiku. Ini
berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Aku merasakan suatu dambaan yang
luar biasa - suatu kerinduan untuk mengasihi Allah.
(27)
Kaul-kaul pertama.
Aku merasakan kerinduan yang bernyala-nyala untuk
menghampakan diri demi Allah melalui cinta yang nyata, suatu cinta yang tidak
dapat dilihat oleh siapa pun, termasuk oleh suster-suster yang paling akrab
denganku. Tetapi, sesudah pengikraran kaul-kaul itu pun, kekelaman terus
menyelubungi jiwaku selama hampir setengah tahun. Pernah terjadi ketika aku
sedang berdoa, Yesus memenuhi seluruh jiwaku. Kegelapan jiwaku sirna, dan aku
mendengar suara ini dari dalam hatiku,
“Engkau adalah sukacita-Ku; engkau adalah nikmat hati-Ku.”
Sejak
saat itu, aku merasakan kehadiran Tritunggal yang mahakudus di dalam hatiku;
maksudnya di dalam diriku. Aku merasakan diriku diliputi terang ilahi. Sejak
saat itu, jiwaku bergaul dengan Allah seperti seorang anak dengan Bapanya yang
tercinta.
(28)
Pernah Yesus berkata kepadaku,
“Pergilah kepada Muder Superior dan mintalah kepadanya agar ia mengizinkan engkau mengenakan pakaian yang kasar selama tujuh hari, dan sekali setiap malam engkau boleh bangun dan pergi ke kapel!”
Aku
menjawab,
“Ya”,
tetapi
aku mengalami kesulitan untuk sungguh pergi kepada Muder Superior. Pada petang
hari, Yesus bertanya kepadaku,
“Berapa lama engkau akan menangguhkannya?”
Aku
memutuskan untuk berbicara dengan Muder Superior begitu aku melihat dia.
Hari
berikutnya sebelum tengah hari, aku melihat Muder Superior pergi ke ruang
makan. Karena dapur, ruang makan, dan kamar Suster Aloysia saling berdekatan,
maka aku minta Muder Superior masuk ke kamar Suster Aloysia dan aku
memberitahukan kepadanya apa yang diinginkan oleh Tuhan Yesus. Atas permintaan
itu, Muder Superior menjawab,
“Aku sama sekali tidak akan mengizinkan engkau mengenakan pakaian kasar. Sama sekali tidak! Kalau Tuhan Yesus mau memberi engkau kekuatan raksasa, aku akan mengizinkan mati raga itu.”
Aku
minta maaf karena telah menyita waktu Muder Superior dan aku meninggalkan kamar
Suster Aloysia. Pada saat itu juga aku melihat Yesus berdiri di pintu dapur,
dan aku berkata kepada-Nya,
“Engkau memerintahkan aku minta izin untuk mati raga ini, tetapi Muder Superior tidak mau mengizinkannya!”
Yesus
berkata,
“Aku berada di sini selama percakapanmu dengan Muder Superior dan Aku mengetahui semuanya. Aku tidak menuntut mati raga darimu, tetapi ketaatan. Dengan ketaatan, engkau memberikan kemuliaan yang besar kepada-Ku dan memperoleh pahala bagi dirimu sendiri.”
(29)
Salah seorang Muder, setelah tahu bahwa aku memiliki hubungan yang akrab dengan
Tuhan Yesus, berkata kepadaku bahwa aku sedang mengkhayal. Ia berkata bahwa
Tuhan Yesus bergaul akrab seperti ini hanya dengan orang-orang kudus dan tidak
dengan jiwa-jiwa yang berdosa
“seperti engkau, Suster!”
Sesudah
itu, aku menjadi kurang percaya kepada Yesus. Pada salah satu percakapan pagiku
dengan Yesus, aku bertanya,
“Yesus, apakah Engkau bukan hanya suatu khayalan?”
Yesus
menjawab,
“Kasih-Ku tidak memperdayakan seorang pun!”
(30)
Sekali peristiwa, aku merenung tentang Tritunggal yang mahakudus, tentang
hakikat Allah. Aku sungguh-sungguh ingin mengetahui dan memahami siapa Allah
itu. ... Tiba-tiba jiwaku terserap dalam apa yang tampaknya merupakan dunia
yang akan datang. Aku melihat terang yang tak terhampiri, dan di dalam terang
itu, tampaklah sesuatu seperti tiga sumber terang yang tidak dapat aku pahami.
Dan dari dalam terang itu, terdengar suara seperti suara halilintar yang
memenuhi langit dan bumi. Karena sama sekali tidak memahaminya, aku merasa
sangat sedih. Tiba-tiba, dari samudra terang yang tak terhampiri itu tampil
Juruselamat kita yang terkasih, yang tak terperikan indahnya dengan
luka-luka-Nya yang bersinar. Dan dari balik terang itu, muncul suatu suara yang
berkata,
“Siapa Allah seturut hakikat-Nya, tidak seorang pun akan memahami-Nya, baik malaikat maupun manusia.”
Yesus
berkata kepadaku,
“Kenalilah Allah dengan merenungkan sifat-sifat-Nya.”
Sejenak
kemudian, Ia membuat tanda salib dengan tangan-Nya dan menghilang.
(31)
Sekali peristiwa, aku melihat suatu himpunan besar manusia di dalam kapel kami,
di depan kapel dan di jalan sebab di dalam kapel tidak ada cukup ruang bagi
mereka. Kapel itu terhias indah untuk suatu pesta. Ada banyak imam di dekat
altar, dan juga suster-suster kami serta suster-suster dari banyak Kongregasi
lain. Mereka semua sedang menantikan orang yang akan mengambil tempat di altar.
Tiba-tiba, aku mendengar suara yang mengatakan bahwa akulah yang harus
mengambil tempat di altar. Tetapi, begitu aku meninggalkan lorong untuk
melintasi halaman dan masuk ke kapel, mengikuti suara yang sedang memanggilku,
semua orang mulai melemparkan kepadaku apa saja yang mereka pegang: lumpur,
batu, pasir, sapu, sedemikian rupa sehingga mula-mula aku ragu untuk melangkah
maju. Tetapi, suara itu terus memanggilku bahkan lebih sungguh-sungguh; maka aku
berjalan dengan tegar.
Ketika
aku memasuki kapel, para superior, para suster, dan para siswi, bahkan orang
tuaku mulai memukuli aku dengan apa pun yang dapat mereka pegang, dan dengan
demikian mau atau tidak , dengan cepat aku mengambil tempat di altar. Segera
sesudah aku berada di sana, orang-orang yang sama, para siswa, para suster,
para superior, dan orang tuaku, semuanya mulai menadahkan tangan kepadaku
sambil memohon rahmat; dan di pihakku, aku tidak memiliki dendam sedikit pun
terhadap mereka karena telah melempariku dengan segala macam barang tadi, dan
aku kagum karena aku merasakan suatu cinta yang sangat istimewa justru bagi
orang-orang yang telah memaksaku untuk lebih cepat pergi ke tempat yang sudah
ditentukan bagiku. Pada saat yang sama jiwaku dipenuhi dengan kebahagiaan yang
tak terperikan, dan aku mendengar suara ini,
“Lakukanlah apa pun yang engkau inginkan, dan selaras dengan kehendakmu, bagikanlah rahmat kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan kapan saja engkau mau.”
Kemudian,
sekonyong-konyong, penglihatan itu menghilang.
(32)
Pada waktu yang lain, aku mendengar kata-kata ini,
“Pergilah kepada Muder Superior dan mintalah kepadanya untuk mengizinkan engkau setiap hari melakukan adorasi selama sembilan hari. Selama adorasi ini cobalah menyatukan dirimu dalam doa dengan Bunda-Ku. Berdoalah dengan segenap hatimu dalam kesatuan dengan Maria, dan berusahalah juga dalam waktu ini melaksanakan Jalan Salib!”
Aku
mendapat izin meskipun tidak untuk satu jam penuh, tetapi hanya selama waktu luang
yang aku miliki sesuadah aku melaksanakan tugas-tugasku.
(33)
Novena itu harus kulaksanakan dengan ujud untuk tanah airku. Pada hari ketujuh
novena itu, aku melihat Bunda Allah mengenakan pakaian yang cemerlang di antara
surga dan bumi. Ia sedang berdoa dengan tangan terkatup di dada dan matanya
menatap ke surga. Dari hatinya, terpancar sinar yang berapi-api, sebagian
terpancar menuju ke surga, sedangkan sebagian yang lain menyelubungi negara
kami.
(34)
Ketika aku menceritakan hal ini dan sejumlah hal lain kepada bapak pengakuanku,
ia berkata bahwa semua ini bisa jadi sungguh berasal dari Allah, tetapi dapat
juga hanya sekadar ilusi. Karena begitu seringnya aku mengalami perubahan
[tugas], aku tidak mempunyai seorang bapak pengakuan yang tetap; kecuali itu,
aku memiliki kesulitan besar dalam menyampaikan hal-hal seperti itu. Aku berdoa
dengan khusyuk supaya Tuhan memberiku rahmat yang besar - yakni seorang
pembimbing rohani. Tetapi, doaku baru terjawab sesudah kaul kekalku ketika aku
bertugas ke Vilnius. Imam itu adalah Pastor Sopocko. Allah telah memperkenankan
aku melihat dia dalam suatu penglihatan batin bahkan sebelum aku tiba di
Vilnius.
(35)
O, seandainya aku mempunyai seorang Pembimbing rohani sejak awal, tentulah aku tidak menyia-nyiakan begitu banyak rahmat Allah! Seorang bapak pengakuan dapat sangat membantu jiwa, tetapi dapat juga sangat merusak.
O, betapa seorang bapak
pengakuan harus sungguh cermat dalam kaitan dengan karya rahmat Allah dalam
jiwa orang-orang yang mengaku dosa kepadanya! Hal ini sungguh amat penting!
Melalui rahmat yang diberikan kepada suatu jiwa, orang dapat mengetahui tingkat
keakraban jiwa itu dengan Allah.
(36)
Pernah aku dipanggil menghadap pengadilan Allah. Aku berdiri seorang diri di
hadapan Tuhan. Yesus menampakkan diri seperti dalam Sengsara-Nya. Sesaat
kemudian, luka-luka-Nya menghilang kecuali kelima luka, yakni luka pada kedua
tangan, kedua kaki, dan pada lambung-Nya. Tiba-tiba aku melihat keadaan jiwaku
persis seperti yang dilihat oleh Allah. Dengan jelas, aku dapat melihat semua
yang tidak berkenan di hati Allah. Aku tidak tahu bahwa bahkan
pelanggaran-pelanggaran yang paling kecil pun harus dipertanggungjawabkan.
Suatu situasi yang luar biasa! Siapa dapat melukiskannya? Berdiri di hadapan
Allah Tritunggal yang mahakudus! Yesus bertanya kepadaku,
“Siapa engkau?”
Aku
menjawab,
“Tuhan, aku ini hamba-Mu.”
“Engkau bersalah, dan harus mendapat hukuman satu hari dibakar di Purgatorium.”
Aku
ingin langsung menceburkan diri ke dalam nyala Purgatorium, tetapi Yesus
menahanku dan berkata,
“Apa yang engkau pilih, menderita sekarang selama satu hari atau menderita sedikit lebih lama di bumi?
Aku
menjawab,
Yesus, aku ingin menderita di Purgatorium, dan aku ingin juga menderita rasa sakit yang paling berat di bumi, juga kalaupun itu harus berlangsung sampai akhir dunia.”
Yesus
berkata,
“Cukuplah salah satu saja; engkau akan kembali ke bumi, dan di sana engkau akan banyak menderita, tetapi tidak lama; engkau akan melaksanakan kehendak-Ku dan memenuhi keinginan-keinginan-Ku, dan seorang hamba-Ku yang setia akan membantu engkau melaksanakan hal ini. Sekarang sandarkanlah kepalamu pada dada-Ku, pada hati-Ku, dan seraplah darinya kekuatan dan kemampuan untuk menanggung semua penderitaan itu sebab engkau tidak akan menemukan kelegaan, atau pertolongan, atau penghiburan di mana pun. Ketahuilah bahwa engkau harus banyak, banyak menderita, tetapi janganlah membiarkan semua ini menggentarkan engkau. Aku menyertaimu.”
(37)
Tak lama kemudian aku jatuh sakit. Bagiku kerapuhan ragawi ini menjadi
sekolah kesabaran. Hanya Yesus yang mengetahui betapa banyak usaha yang
harus kulakukan untuk melaksanakan tugasku.
(38)
Untuk memurnikan suatu jiwa, Yesus menggunakan alat apa pun yang Ia sukai.
Jiwaku merasa ditinggalkan oleh semua makhluk; sering kali maksud-maksud paling
baikku disalahtafsirkan oleh para suster, suatu bentuk penderitaan yang paling
menyakitkan, tetapi Allah mengizinkanya, dan harus diterima sebab dengan cara
ini manusia menjadi semakin menyerupai Yesus. Ada satu hal yang tidak dapat
kupahami untuk waktu yang lama: Yesus memerintahkan aku memberitahukan segala
sesuatu kepada para superiorku, tetapi para superiorku tidak mempercayai aku
dan memperlakukan aku dengan rasa kasihan seolah-olah aku hidup dalam ilusi ataupun
berkhayal.
Karena
hal ini, yakni karena takut diriku diperdayakan, aku memutuskan untuk
menghindari Allah secara batin karena takut berkhayal. Tetapi, rahmat Allah
terus memburuku di setiap langkah, dan Allah berbicara kepadaku justru pada
saat aku paling tidak mengharapkannya.
(39)
Pada suatu hari, Yesus memberitahukan kepadaku bahwa Ia akan menjatuhkan
hukuman atas kota yang paling indah di tanah air kami. Hukuman ini akan menjadi
seperti hukuman yang dijatuhkan Allah atas Sodom dan Gomora. Aku menyaksikan
murka Allah yang amat besar, dan rasa nyeri pun menyayat hatiku. Aku berdoa
dalam keheningan. Tak lama kemudian, Yesus berkata kepadaku,
“Putri-Ku, satukanlah dirimu erat-erat dengan-Ku selama kurban misa dan persembahkanlah Darah dan Luka-luka-Ku kepada Bapa sebagai pendamaian atas dosa-dosa kota itu. Ulangilah ini tanpa henti selama misa kudus. Lakukanlah ini selama tujuh hari!”
Pada
hari ketujuh, aku melihat Yesus di tengah awan cemerlang dan aku mulai memohon
kepada-Nya untuk mengasihani kota itu dan seluruh negeri kami. Yesus memandang
[ke bawah] dengan sangat ramah. Ketika aku menyaksikan keramahan Yesus, aku
mulai memohon berkat-Nya. Serta merta Yesus berkata,
“Demi engkau, aku memberkati seluruh negeri.”
Dan
Ia membuat tanda salib atas tanah air kami. Menyaksikan kebaikan Allah ini,
suatu sukacita yang luar biasa memenuhi jiwaku.
(40)
Tahun 1929.
Pada suatu hari, dalam misa kudus, aku merasakan suatu kedekatan
yang sangat istimewa dengan Allah, meskipun aku berusaha untuk menghindari-Nya
dan melepaskan diri dari Dia. Pada beberapa kesempatan aku telah lari dari
Allah karena aku tidak ingin menjadi korban roh jahat; karena orang-orang lain
telah berkata kepadaku, lebih dari satu kali, bahwa begitulah halnya. Dan
ketidakpastian ini berlangsung agak lama. Dalam misa kudus, sebelum komuni,
kami harus membarui kaul. Ketika kami beranjak dari tempat berlutut dan mulai
mendaras rumus pengikraran kaul, Yesus tiba-tiba tampak di sampingku mengenakan
busana putih dengan pengikat emas di sekeliling pinggang-Nya, dan Ia berkata
kepadaku,
“Aku memberimu cinta yang kekal sehingga kemurnianmu tidak ternoda dan sebagai tanda bahwa kamu tidak pernah akan takluk kepada godaan-godaan yang melawan kemurnian.”
Yesus
menanggalkan ikat pinggang emas-Nya dan mengikatkannya pada pingganku.
Sejak
saat itu, aku tidak pernah mengalami suatu serangan pun melawan keutamaan ini,
baik dalam hati maupun dalam budiku. Belakangan aku mengerti bahwa ini adalah
salah satu rahmat yang paling besar yang telah diperoleh Santa Perawan Maria
yang tersuci bagiku karena sudah bertahun-tahun aku meminta rahmat ini dari
dia. Sejak saat itu aku telah mengalami perkembangan devosiku kepada Bunda
Allah. Ia telah mengajar aku bagaimana mencintai Allah secara batin dan juga
bagaimana melaksanakan kehendak-Nya yang kudus dalam segala hal. O, Maria,
engkau adalah sukacitaku sebab lewat engkau Allah turun ke bumi, [dan] ke dalam
hatiku.
(41)
Pada suatu kesempatan, aku melihat seorang hamba Allah sudah di ambang bahaya
melakukan dosa berat. Aku mulai memohon kepada Allah agar berkenan menjatuhkan
atas diriku semua siksaan neraka dan semua penderitaan yang Ia kehendaki
asalkan imam itu dibebaskan dan direnggut dari kesempatan melakukan suatu dosa.
Yesus mendengar doaku dan, seketika itu juga, aku merasakan suatu mahkota duri
menancap di kepalaku. Duri-duri itu menembusi kepalaku dengan kekuatan besar
langsung ke otakku. Kesakitan ini berlangsung selama tiga jam; tetapi, hamba
Allah itu dibebaskan dari dosa, dan jiwanya diteguhkan oleh rahmat Allah yang
istimewa.
(42)
Pernah, pada Hari Natal, aku merasakan kemahakuasaan dan kehadiran Allah
menyelubungi aku. Dan sekali lagi aku melarikan diri dari perjumpaan batin
dengan Tuhan. Aku minta izin kepada Muder Superior untuk pergi ke Jozefinek
untuk mengunjungi suster-suster di sana. Muder Superior memberi kami izin, dan
kami mulai berkemas-kemas langsung sesudah makan siang. Suster-suster yang lain
sudah menunggu aku di pintu biara ketika aku berlari ke kamarku untuk mengambil
mantolku. Dalam perjalananku kembali ketika aku melewati pintu kapel kecil, aku
melihat Yesus berdiri di ambang pintu. Ia berkata kepadaku,
“Pergilah, tetapi aku mengambil hatimu!”
Tiba-tiba
aku merasa bahwa aku tidak mempunyai hati di dalam dadaku. Tetapi, para suster
memperolok-olokku bahwa aku berat hati untuk pergi, sambil berkata bahwa
saatnya sudah terlambat, maka aku buru-buru pergi bersama mereka. Tetapi, suatu
perasaan tidak nyaman menyelubungi hatiku, dan suatu kerinduan yang aneh
menyerang jiwaku meskipun tidak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi dalam
diriku kecuali Allah.
Sesudah
kami tiba di Jozefinek, baru beberapa menit, aku berkata kepada para suster,
“Mari kita pulang!”
Para
suster minta sekurang-kurangnya istirahat sejenak, tetapi hatiku tidak tenang.
Aku menjelaskan bahwa kami harus kembali sebelum hari gelap; dan karena jarak
yang harus kami tempuh agak jauh, serta merta kami berangkat pulang. Ketika
Muder Superior berpapasan dengan kami di lorong biara, ia bertanya kepadaku,
“Apakah suster-suster ini belum berangkat, atau malah sudah kembali?”
Aku
berkata bahwa kami sudah kembali karena aku tidak ingin kembali di petang hari.
Aku menanggalkan mantolku dan langsung pergi ke kapel kecil. Begitu aku masuk,
Yesus berkata kepadaku,
“Pergilah ke Muder Superior dan katakan kepadanya bahwa engkau kembali, bukan untuk sampai di rumah sebelum gelap, tetapi karena Aku telah mengambil hatimu.”
Meskipun
hal ini amat sulit bagiku, aku pergi kepada Muder Superior, dan aku mengatakan
kepadanya terus terang alasan yang sesungguhnya mengapa aku begitu cepat
kembali, dan aku minta maaf dari Tuhan atas segala sesuatu yang telah tidak
menyenangkan hati-Nya, maka Yesus memenuhi hatiku dengan sukacita yang besar.
Aku mengerti bahwa lepas dari Allah tidak ada kepuasan di mana pun.
(43)
Sekali peristiwa, aku melihat dua orang suster yang hampir masuk ke neraka.
Kesakitan yang sulit diungkapkan mencekam jiwaku; aku berdoa kepada Allah bagi
mereka, dan Yesus berkata kepadaku,
“Pergilah kepada Muder Superior dan katakan kepadanya bahwa kedua suster itu ada dalam bahaya melakukan dosa besar!”
harinya
aku menyampaikan hal ini kepada Muder Superior. Satu dari mereka sudah
sungguh-sungguh menyesal sedangkan yang lain sedang bergulat hebat.
(44)
Pada suatu hari, Yesus berkata kepadaku,
“Aku akan meninggalkan rumah ini.... sebab di sini ada hal-hal yang tidak menyenangkan hati-Ku.”
Sebuah
Hosti keluar dari tabernakel dan hinggap di tanganku dan aku, dengan penuh
sukacita, mengembalikannya ke dalam tabernakel. Kejadian itu terulang untuk
kedua kalinya, dan aku melakukan hal yang sama. Kendati hal itu, terjadi lagi
untuk ketiga kalinya, tetapi Hosti itu berubah menjadi Tuhan Yesus yang hidup,
yang berkata kepadaku,
“Aku tidak mau tinggal di sini lebih lama lagi!”
Pada
saat itu, secara mendadak suatu cinta yang membara terhadap Yesus muncul dalam
jiwaku. Aku menjawab,
“Dan aku, aku tidak akan membiarkan Engkau meninggalkan rumah ini, Yesus!”
Maka
Yesus pun menghilang sementara Hosti itu tetap berada di tanganku. Sekali lagi
aku mengembalikannya ke dalam sibori dan menutupnya di dalam tabernakel. Dan
Yesus tinggal bersama kami. Aku berusaha melaksanakan tiga hari adorasi
penyilihan.
(45)
Sekali peristiwa Yesus berkata kepadaku,
“Katakan kepada Muder Jenderal bahwa di rumah ini ... sedang terjadi hal ini dan hal itu ... yang tidak berkenan kepada-Ku dan sangat menggusarkan Hati-Ku!”
Aku
tidak langsung menyampaikan hal itu kepada Muder, tetapi ketidaknyamanan yang
dibiarkan Tuhan terjadi di dalam hatiku dan tidak memungkinkan aku menunggu
lebih lama lagi, dan aku langsung menulis kepada Muder Jenderal, dan damai
kembali ke dalam jiwaku.
(46)
Aku sering merasakan sengsara Tuhan Yesus dalam tubuhku, meskipun hal itu tidak
dapat dilihat [oleh orang lain], dan aku bersukacita karenanya sebab Yesus
menghendaki demikian. Tetapi, ini berlangsung hanya dalam waktu yang singkat.
Penderitaan-penderitaan ini mengobarkan jiwaku dengan cinta akan Allah dan akan
jiwa-jiwa yang kekal. Cinta menanggung segala sesuatu, cinta lebih kuat
daripada maut, cinta tidak takut akan suatu pun..
(47)
22 Februari 1931
Sore itu ketika aku berada di dalam kamarku, aku melihat Tuhan Yesus berpakaian jubah putih. Tangan kanan-Nya terangkat seperti sikap memberi berkat, sedangkan tangan kiri-Nya menyentuh jubah-Nya pada bagian dada. Dari balik jubah itu, terpancarlah dua sinar besar: yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna pucat. Dalam keheningan aku terus menatap Tuhan; jiwaku tersentak oleh rasa takut, tetapi juga oleh sukacita yang besar. Tidak lama kemudian, Yesus berkata kepadaku,
“Lukislah sebuah gambar tepat seperti yang engkau lihat ini, dengan tulisan di bawahnya: Yesus, Engkau Andalanku! Aku ingin supaya gambar itu dihormati mula-mula di kapelmu, dan [kemudian] di seluruh dunia.”
(48)
“Aku berjanji bahwa jiwa yang menghormati gambar itu tidak akan binasa. Aku menjanjikan juga bahwa sudah sejak di dunia ini ia akan mengalahkan musuh-musuh[nya], khususnya pada saat kematian. Aku sendiri akan membelanya bagaikan kemuliaan-Ku sendiri.”
(49)
Ketika aku menyampaikan hal ini kepada bapak pengakuanku, aku mendapat jawaban
ini,
“Hal itu dimaksudkan untuk jiwamu.”
Ia
berkata kepadaku,
“Jelasnya, lukislah gambar Allah di dalam jiwamu.”
Ketika
aku keluar dari kamar pengakuan, sekali lagi aku mendengar suara seperti ini,
“Gambar-Ku sudah ada di dalam jiwamu. Aku merindukan adanya Pesta Kerahiman. Aku mengkehendaki agar gambar yang akan engkau lukis dengan kuas itu diberkati secara meriah pada hari Minggu pertama sesudah Paskah; Hari Minggu itu harus menjadi Pesta Kerahiman.”
(50)
”Aku menghendaki agar para imam berkothbah tentang kerahiman-Ku yang besar terhadap jiwa-jiwa orang berdosa. Orang berdosa jangan takut menghampiri Aku. Nyala kerahiman sedang membakar Aku. Aku ingin mencurahkannya atas jiwa-jiwa itu.”
Yesus
mengeluh kepadaku dengan kata-kata ini,
“Ketidakpercayaan di pihak jiwa-jiwa sungguh menyayat-nyayat hati-Ku. Lebih menyakitkan lagi ketidakpercayaan jiwa yang telah Kupilih. Meskipun cinta-Ku kepada mereka tidak terhingga, mereka tetap tidak mempercayai Aku. Bahkan kematian-Ku mereka anggap belum cukup. Celakalah jiwa yang menyalahgunakan [karunia-karunia] ini.”