-->

Catatan Harian St.Faustina: 301 - 350


 KERAHIMAN ILAHI DALAM JIWAKU

Buku Catatan Harian Abdi Allah

Santa Maria Faustina Kowalska

anggota Kaul Kekal dari

Kongregasi Santa Perawan Maria Berbelas Kasih

 

Buku 1

(301) 

“Maklumkanlah bahwa kerahiman adalah sifat Allah yang paling tinggi. Kerahimanlah mahkota segala karya tangan-Ku.”

(302) 

O Kasih Abadi, aku ingin semua jiwa yang telah Kauciptakan mengenal Engkau.

Aku ingin menjadi seorang imam karena dengan demikian aku dapat berbicara tanpa henti mengenai kerahiman-Mu kepada jiwa-jiwa yang berdosa yang tenggelam dalam keputusasaan. 

Aku ingin menjadi seorang misionaris dan membawa terang iman kepada bangsa-bangsa yang terbelakang untuk memperkenalkan Engkau kepada jiwa-jiwa. 

Aku ingin menghabiskan seluruh tenagaku bagi mereka dan mati sebagai seorang martir, sama seperti Engkau mati bagiku dan bagi mereka. 

Ya Yesus, aku tahu dengan baik bahwa aku dapat menjadi seorang imam, seorang misionaris, seorang pengkhotbah, dan bahwa aku dapat mati sebagai seorang martir kalau aku menghampakan diriku sepenuhnya dan dengan menyangkal diriku karena cinta akan Dikau, ya Yesus, dan karena cintaku kepada jiwa-jiwa yang kekal. 

(303) 

Cinta yang besar dapat mengubah hal-hal kecil menjadi hal-hal besar, dan hanya cintalah yang memberikan makna kepada kegiatan-kegiatan kita. Dan semakin murni cinta kita, semakin kecil umpan untuk nyala api penderitaan di dalam diri kita, dan penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan bagi kita; penderitaan akan menjadi suatu sukacita! Berkat rahmat Allah, aku telah menerima keterbukaan hati seperti itu sehingga aku tidak pernah sedemikian bahagia seperti ketika aku menderita bagi Yesus, yang aku cintai dengan setiap detak jantungku. 

Pernah ketika aku sedang menderita, aku meninggalkan pekerjaanku dan melarikan diri kepada Yesus dan minta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku kekuatan-Nya. Sesudah doa yang sangat singkat, aku kembali ke pekerjaanku dengan penuh semangat dan sukacita. Kemudian, salah seorang dari para suster berkata kepadaku, 

“Hari ini Suster kelihatan begitu berseri-seri. Pasti, Allah tidak lagi memberimu penderitaan, tetapi hanya penghiburan.” “Suster salah besar,” jawabku, “karena justru pada saat banyak menderita aku lebih bersukcita; dan apabila penderitaanku berkurang, sukacitaku juga kurang.” 

Tetapi, jiwa itu memberi isyarat kepadaku bahwa ia tidak memahami apa yang kukatakan. Aku berusaha menjelaskan kepadanya bahwa ketika kita banyak menderita, kita memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan kepada Allah bahwa kita mencintai Dia; tetapi ketika kita menderita sedikit, lebih kecillah kesempatan yang kita miliki untuk menunjukkan cinta kita kepada Allah; dan kalau kita tidak menderita sama sekali, maka cinta kita entah sungguh besar entah sungguh murni. Dengan rahmat Allah, kita dapat memperoleh suatu tahap di mana penderitaan akan menjadi kesukaan bagi kita karena cinta dapat mengerjakan hal-hal seperti itu di dalam jiwa-jiwa yang murni. 

(304) 

Ya Yesusku, harapanku satu-satunya, syukur kepada-Mu karena buku yang telah Engkau buka di hadapan mata jiwaku. Buku itu adalah sengsara-Mu yang telah Kaujalani karena cinta-Mu kepadaku. Dari buku inilah aku telah mempelajari bagaimana mencintai Allah dan mencintai jiwa-jiwa. Dalam buku ini, ditemukan harta yang tak kunjung habis bagi kita. Ya Yesus, betapa sedikit jiwa yang memahami Engkau dalam kemartiran cinta kasih-Mu! Oh, betapa besarnya api cinta paling murni yang berkobar di dalam Hati-Mu yang mahakudus! Berbahagialah jiwa yang telah memahami cinta Hati Yesus! 

(305) 

Keinginanku yang paling besar adalah supaya jiwa-jiwa mengenal Engkau sebagai kebahagiaan kekal mereka, bahwa mereka percaya kepada kebaikan-Mu dan memuliakan kerahiman-Mu yang tak terbatas. 

(306) 

Aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku rahmat supaya kodratku menjadi kebal dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh yang kadang-kadang berusaha menjauhkan aku dari roh peraturan dan dari tata tertib yang lebih kecil. Pelanggaran-pelanggaran kecil ini ibarat ngengat kecil-kecil yang berusaha menghancurkan kehidupan rohani di dalam diri kita, dan mereka tentu saja akan menghancurkannya kalau jiwa menyadari pelanggaran-pelanggaran kecil ini, tetapi mengabaikannya sebagai hal-hal yang kecil. Aku dapat melihat tidak ada sesuatu yang kecil dalam kehidupan membiara. Kalau kadang-kadang aku menjadi sasaran kejengjelan dan cemooh, itu semua tidak menjadi masalah, asalkan rohku tetap berada dalam harmoni dengan roh peraturan, dengan kaul, dan dengan statuta hidup membiara. 

Ya Yesusku, kesukaan hatiku, Engkau mengetahui kerinduan-kerinduanku. Aku ingin bersembunyi dari tatapan orang-orang supaya aku hidup, tetapi tampaknya tidak hidup. Aku ingin hidup murni seperti bunga liar; aku ingin cintaku selalu tertuju kepada-Mu, sama seperti bunga yang selalu mengarah kepada matahari. Aku ingin aroma dan kesegaran bunga hatiku selalu terpelihara hanya bagi-Mu. Aku ingin hidup di bawah tatapan ilahi-Mu karena Engkau saja sudah cukup bagiku. Apabila aku bersama-Mu, Yesus, aku tidak takut akan suatu pun karena tidak satu pun dapat merugikan aku. 

(307) 

1934. 

Pernah, dalam Masa Prapaskah, aku melihat suatu terang cemerlang dan suatu kegelapan pekat di atas biara dan kapel. Aku melihat pergulatan antara kedua kekuatan itu... 

(308) 

1934, 

Kamis Putih. 

Yesus berkata kepadaku, 

“Aku ingin agar engkau mempersembahkan dirimu bagi orang-orang berdosa, khususnya bagi jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah.”

Allah dan Jiwa-jiwa. 

Doa Persembahan. 

(309) 

Di hadapan surga dan bumi, di hadapan segenap paduan suara para malaikat, di hadapan Perawan Maria yang Tersuci, di hadapan segala Kuasa surga, aku menyatakan kepada Allah Tritunggal bahwa hari ini, dalam kesatuan dengan Yesus Kristus, Penebus jiwa-jiwa, aku mempersembahkan diriku secara sukarela untuk pertobatan orang-orang berdosa, khususnya untuk jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah. 

Persembahan ini meliputi penerimaan, dengan kepatuhan total kepada kehendak Allah, semua penderitaan, ketakutan, dan kegentaran yang memenuhi hati orang-orang berdosa. Sebaliknya, aku memberikan kepada mereka semua penghiburan yang diterima jiwaku dari persekutuanku dengan Allah. Singkat kata, aku mempersembahkan segala sesuatu bagi mereka: misa kudus, komuni kudus, tobat, mati raga dan doa. Aku tidak takut akan pukulan, pukulan keadilan ilahi sebab aku disatukan dengan Yesus. 

Ya Allahku, dengan cara ini, aku ingin mengadakan penyilihan kepada-Mu atas jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan-Mu. Melawan segala harapan, aku berharap akan samudra kerahiman-Mu. Ya Tuhanku dan Allahku, bagianku - harta pusakaku untuk selamanya, aku mendasarkan doa persembahan ini bukan atas kekuatanku sendiri, tetapi atas kekuatan yang mengalir dari pahala Yesus Kristus. Aku akan mengulangi setiap hari persembahan diri ini dengan mengucapkan doa berikut, yang Kauajarkan sendiri kepadaku, yakni: 

“O Darah dan Air yang telah memancar dari Hati Yesus sebagai sumber kerahiman bagi kami. Engkau andalanku!” 

Sr. Maria Faustina dari Sakramen Mahakudus.

Kamis Putih, dalam Misa Kudus, 29 Maret 1934. 

(310) 

“Aku memberi engkau bagian dalam penebusan umat manusia. Engkaulah kesejukan di saat Aku menghadapi ajal.” 

(311) 

Ketika aku menerima izin dari bapak pengakuanku untuk melaksanakan penyerahan diri ini, aku segera tahu bahwa penyerahan itu berkenan di hati Allah sebab serta merta aku mulai mengalami buahnya. Dalam sekejap jiwaku menjadi seperti batu - keras, penuh dengan siksaan dan kegelisahan. Segala macam hujat dan kutuk terus mengiang di telingaku. Ketidakpercayaan dan keputusasaan menyerbu hatiku. Inilah keadaan orang papa, yang telah kuterima atas diriku. Mula-mula, aku sangat ketakutan karena hal-hal yang mengerikan ini, tetapi dalam pengakuan pertama [tepat pada waktunya], hatiku diliputi damai. 

(312) 

Pernah ketika aku pergi keluar biara untuk mengaku dosa, kebetulan aku melihat bapak pengakuanku yang sedang merayakan misa. Sesaat kemudian, aku melihat Kanak-kanak Yesus pada altar, yang penuh dengan sukacita dan wajah berseri mengulurkan tangan kepadanya. Tetapi, sesaat kemudian imam mengambil Anak yang mungil itu dengan tangannya, mematah-matahkan-Nya dan memakan-Nya hidup-hidup. Mula-mula aku merasa tidak senang dengan imam itu karena telah melakukan hal itu terhadap Yesus, tetapi aku langsung mendapat penerangan mengenai hal ini dan aku memahami bahwa imam ini sangat menyenangkan hati Allah. 

(313) 

Pernah ketika aku mengunjungi seniman yang melukis gambar Kerahiman Ilahi, dan melihat bahwa gambar itu tidak seindah Yesus yang aku saksikan, aku merasa sangat sedih akan hal itu, tetapi aku menyembunyikan kesedihan itu dalam-dalam di lubuk hatiku. Setelah kami meninggalkan rumah sang seniman, Muder Superior singgah di kota untuk menyelesaikan sejumlah urusan sementara aku pulang ke rumah sendirian. Aku langsung pergi ke kapel dan menangis sepuasku. Aku berkata kepada Tuhan, 

“Siapa yang dapat melukis Engkau seindah Engkau sendiri?” 

Kemudian aku mendengar kata-kata ini, 

“Bukan dalam indahnya warna, bukan pula dalam bagusnya kuas terletak kebesaran gambar ini, tetapi dalam rahmat-Ku.” 

(314) 

Pada suatu petang ketika aku pergi ke taman, Malaikat Pelindungku berkata kepadaku, 

“Berdoalah untuk orang-orang yang menghadapi ajal.” 

Maka aku langsung mulai berdoa rosario bersama anak-anak asrama yang sedang merawat taman untuk orang yang menghadapi ajal. Sesudah doa, anak-anak mulai bercanda dengan riang gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka ciptakan, aku mendengar suara ini di dalam jiwaku, 

“Berdoalah untukku!” 

Tetapi karena aku tidak dapat menangkap suara itu dengan baik, aku menjauh beberapa langkah dari anak-anak itu, sambil berpikir siapa kiranya yang minta aku doakan. Kemudian aku mendengar kata-kata, 

“Aku Suster ...” 

Suster ini ada di Warsawa padahal aku, waktu itu, berada di Vilnius. 

“Berdoalah untukku sampai aku katakan kepadamu untuk berhenti. Aku sedang menghadapi ajal.” 

Serta merta aku mulai berdoa dengan khusyuk baginya kepada Hati Yesus yang mulai menghadapi ajal. Suster itu belum memberiku istirahat, dan aku terus berdoa demikian mulai [pukul] tiga sampai pukul lima. Pada pukul lima aku mendengar suara, 

“Terima kasih!” 

dan aku tahu bahwa suster itu sudah meninggal. Dalam misa keesokan harinya, aku berdoa lagi dengan khusyuk untuk jiwanya. Pada petang hari, sebuah kartu pos tiba yang mengatakan bahwa suster ... telah meninggal tepat pada waktu itu. Aku mengerti bahwa persis pada saat itulah ia berkata kepadaku, 

“Berdoalah untukku.” 

(315) 

Ya Bunda Allah, jiwamu tenggelam dalam samudra kepahitan.

Pandanglah aku, anakmu, dan ajarlah aku menderita serta tetap menunjukkan cinta di saat menderita. Kuatkanlah jiwaku, jangan sampai dipatahkan oleh penderitaan.

Bunda rahmat, ajarlah aku untuk hidup bersatu dengan Allah. 

(316) 

Pernah, Bunda Allah datang mengunjungi aku. Ia tampak sedih. Matanya tertunduk ke bawah. Sangat jelas bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi di lain pihak, seolah-olah ia tidak mau berbicara denganku mengenai hal itu. Mengetahui hal itu, aku mulai minta kepada Bunda Allah untuk memandang aku dan berbicara kepadaku. Saat itu juga Maria memandang aku dengan senyum hangat dan berkata, 

“Engkau akan mengalami beberapa penderitaan karena suatu penyakit dan karena para dokter; engkau juga akan menderita banyak karena gambar itu, tetapi jangan takut akan apa pun.” 

Hari berikutnya aku jatuh sakit dan sangat menderita, persis seperti yang telah dikatakan oleh Bunda Allah. Tetapi jiwaku sudah siap untuk menanggung penderitaan-penderitaan. Seluruh hidupku tidak pernah lepas dari penderitaan. 

(317) 

Ya Allahku, satu-satunya harapanku, aku telah menempatkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, dan aku tahu aku tidak akan dikecewakan. 

(318) 

Aku sering merasakan kehadiran Allah sesudah komuni kudus secara istimewa dan sangat nyata. Aku tahu Allah berada di dalam hatiku. Dan kenyataan bahwa aku merasakan kehdairan-Nya di dalam hatiku tidak mengganggu pelaksanaan tugas-tugasku. Juga, kalaupun aku sedang menangani masalah-masalah penting yang menuntut perhatian besar, aku tetap dapat merasakan kehadiran Allah di dalam jiwaku, dan aku tetap bersatu erat dengan Dia. Bersama Dia aku pergi bekerja, bersama Dia aku pergi untuk berekreasi, bersama Dia aku menderita, bersama Dia aku bersukacita; aku hidup di dalam Dia dan Ia di dalam aku. Aku tidak pernah sendirian sebab Ia senantiasa menyertai aku. Stiap saat aku menyadari kehadiran-Nya. Kemesraan kami luar biasa, lewat kesatuan darah dan kehidupan. 

(319) 

9 Agustus 1934. 

Tuguran pada Kamis Putih. 

Aku melaksanakan tuguranku mulai pukul sebelas sampai tengah malam. Aku mempersembahkan tuguran ini untuk pertobatan orang-orang berdosa yang keras hati, khususnya untuk mereka yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah. Aku merenungkan betapa beratnya Tuhan telah menderita dan betapa besar kasih yang Ia tunjukkan kepada kita; aku juga merenungkan kenyataan bahwa kita masih belum percaya bahwa Allah sedemikian mengasihi kita. Ya Yesus, siapa yang dapat memahami hal ini? Betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung Juru Selamat kita! Bagaimana Ia dapat meyakinkan kita akan cinta-Nya kalau bahkan kematian-Nya tidak dapat meyakinkan kita? Aku memanggil seluruh surga untuk bergabung denganku dalam doa penyilihan kepada Tuhan atas sikap tidak tahu terima kasih dari sejumlah jiwa. 

(320) 

Yesus memberitahukan kepadaku betapa doa-doa penyilihan sangat berkenan di hati-Nya. Ia berkata kepadaku, 

“Doa yang dipanjat oleh jiwa yang rendah hati dan penuh kasih meredakan murka Bapa-Ku dan menurunkan hujan berkat.” 

Sesudah adorasi, di tengah jalan kembali ke kamarku, aku dikerumuni oleh sekelompok anjing hitam yang besar, yang melompat-lompat, menyalak, dan berusaha mencabik-cabik aku. Aku menyadari bahwa mereka bukan anjing, tetapi setan-setan. Satu dari mereka berbicara dengan kasar, 

“Karena malam ini engkau telah merenggut banyak jiwa dari kami, kami akan mencabik-cabikmu.” 

Aku menjawab, 

“Kalau memang itu kehendak Allah yang maharahim, cabik-cabiklah aku karena aku justru menginginkannya sebab aku adalah yang paling celaka dari semua pendosa, dan Allah selalu kudus, adil, dan tak terbatas kerahiman-Nya.” 

Mendengar kata-kata ini, semua setan itu menjawab serentak, 

“Mari kita lari sebab ia tidak sendirian; Yang Mahakuasa menyertainya!” 

Dan mereka lenyap seperti debu, seperti hiruk pikuk jalanan, sementara aku melanjutkan perjalanan ke kamarku tanpa terganggu, sambil menyelesaikan Te Deum-ku dan merenungkan kerahiman Allah yang tak terbatas dan tak terselami. 

12 Agustus 1934 

(321) 

Sakit mendadak - Penderitaan yang amat berat. 

Ini bukanlah kematian, tetapi suatu peralihan menuju kehidupan yang sejati; namun penderitaan ini begitu berat, dan rasanya seperti kematian. Meskipun memberi kita kehidupan kekal, kematian itu mengerikan. Sekonyong-konyong aku jatuh sakit, aku merasa sesak napas, kegelapan membayang di depan mataku, anggota-anggota tubuhku semakin kaku - dan aku merasakan kekurangan napas yang mengerikan. Meskipun sebentar, sesak napas itu rasanya sedemikian lama. ... Juga muncul suatu ketakutan yang aneh, di samping pengharapan. Aku ingin menerima sakramen-sakramen terakhir, tetapi luar biasa sulit untuk mengaku dosa meskipun aku ingin melakukannya. Orang tidak tahu apa yang ia katakan; tanpa menyelesaikan yang satu, ia mulai mengatakan yang lain. 

Oh, semoga Allah menjaga agar tidak satu jiwa pun menangguhkan pengakuan dosa sampai saat terakhir! Aku memahami kekuatan besar dari kata-kata imam ketika kata-kata itu meluncur ke arah jiwa orang sakit. Ketika aku bertanya bapak rohaniku apakah aku siap untuk berdiri di hadapan Tuhan dan apakah aku dapat merasakan damai, aku menerima jawaban, 

“Suster dapat menikmati damai sepenuhnya, bukan hanya sekarang tetapi juga sesudah setiap pengakuan dosa mingguan.” 

Sungguh besar rahmat ilahi yang menyertai kata-kata imam ini. Jiwaku merasakan kekuatan dan keberanian untuk bertempur. 

(322) 

O Kongregasiku, ibuku, betapa menyenangkan hidup sebagai anggotamu, tetapi lebih baik lagi mati sebagai anggotamu! 

(323) 

Sesudah aku menerima sakramen-sakramen terakhir, ada suatu perkembangan yang mencolok. Aku masih tetap sendirian. Ini berlangsung selama setengah jam dan kemudian timbul serangan baru; tetapi ini tidak begitu kuat karena campur tangan dokter. 

Aku mempersatukan penderitaan-penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya untuk diriku sendiri dan untuk pertobatan jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan Allah. Sekonyong-konyong, kamarku penuh dengan sosok serba hitam yang penuh dengan kemarahan dan kebencian terhadapku. Satu dari mereka berkata, 

“Terkutuklah engkau dan Ia yang ada dalam dirimu karena engkau mulai menyiksa kami yang bahkan sudah di neraka.” 

Begitu aku berkata, 

“Dan, Sang Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” 

sosok-sosok itu lenyap seketika. 

(324) 

Keesokan harinya, aku merasa sangat lemah, tetapi tidak merasakan penderitaan apa pun lagi. Sesudah komuni kudus, aku melihat Tuhan Yesus persis seperti yang aku lihat dalam salah satu adorasi. Tatapan mata Tuhan terus menerus menembus jiwaku, dan bahkan debu yang terkecil pun tidak lolos dari perhatian-Nya. Dan aku berkata kepada Yesus, 

“Yesus, aku pikir Engkau akan memanggilku.” 

Dan Yesus menjawab, 

“Kehendak-Ku belum sepenuhnya digenapi dalam dirimu; engkau masih akan tinggal di bumi, tetapi tidak lama.
Aku sangat senang dengan kepercayaanmu, tetapi cintamu hendaknya lebih berkobar. 
Cinta yang murni memberikan kekuatan kepada jiwa pada saat ia menghadapi ajal. 
Ketika Aku menghadapi ajal di salib, Aku sama sekali tidak memikirkan diri-Ku sendiri, tetapi memikirkan para pendosa yang malang, dan Aku berdoa bagi mereka kepada Bapa-Ku. 
Aku menghendaki saat-saat terakhirmu menjadi sepenuhnya mirip dengan saat-saat terakhir-Ku di salib.
Hanya ada satu cara menebus jiwa-jiwa, yaitu penderitaan yang disatukan dengan penderitaan-Ku di salib. 
Cinta yang murni memahami kata-kata ini; cinta daging tidak pernah akan memahaminya.” 

(325) 

Tahun 1934. 

Pada hari Bunda Allah diangkat ke surga aku tidak menghadiri misa kudus. Dokter perempuan itu tidak mengizinkan aku; tetapi aku berdoa dengan khusyuk di kamarku. Tidak lama sesudah itu, aku melihat Bunda Allah, tak terperikan eloknya. Ia berkata kepadaku, 

“Putri-Ku, yang aku minta darimu adalah doa, doa, dan sekali lagi doa, bagi dunia dan khususnya bagi Tanah Airmu. 
Selama sembilan hari sambutlah komuni sebagai penyilihan dan persatukanlah dirimu erat-erat dengan kurban misa kudus. 
Selama sembilan hari ini, engkau akan berdiri di hadapan Allah sebagai suatu persembahan: selalu dan di mana-mana, di segala waktu dan tempat, siang atau malam, kapan saja engkau terjaga, berdoalah dalam roh. 
Dalam roh, orang selalu dapat tetap berdoa.” 

(326) 

Pernah, Yesus berkata kepadaku, 

“Tatapan mata-Ku dari gambar ini sama dengan tatapan mata-Ku dari salib.” 

(327) 

Pernah, bapak pengakuanku bertanya kepadaku di mana tulisan itu harus ditempatkan sebab tidak ada cukup ruang dalam gambar itu untuk mencantumkan segala sesuatu. Aku menjawab, 

“Aku akan berdoa dan memberi jawaban pekan depan.” 

Ketika aku meninggalkan kamar pengakuan dan sedang melintas di depan Sakramen Mahakudus, aku menerima suatu pengetahuan batin mengenai tulisan itu. Yesus mengingatkan aku akan apa yang telah Ia beri tahukan kepadaku pertama kali; yakni, bahwa tiga kata ini harus tampak dengan jelas: 

“Yesus, Engkau Andalanku” [Jezu, Ufam Tobie]. 

Aku sadar bahwa Yesus menghendaki seluruh kalimat ditulis dalam gambar, tetapi Ia tidak memberikan perintah langsung dan tegas seperti yang Ia lakukan untuk ketiga kata itu. 

“Aku memberikan tanda kepada umat manusia sebuah wadah yang harus mereka bawa ketika mereka datang memohon rahmat ke sumber kerahiman. Wadah itu adalah gambar ini dengan tulisan - Yesus, Engkau Andalanku.” 

(328) 

O Cinta yang paling murni, merajalah di dalam hatiku dengan segenap kuasa-Mu dan tolonglah aku melakukan kehendak-Mu yang kudus dengan sesetia mungkin! 

(329) 

Menjelang akhir suatu retret tiga hari, aku melihat diriku berjalan menyusuri lorong yang tidak rata. Aku terus menerus tersandung, dan aku melihat di belakangku sosok seorang yang terus menopang aku. Aku tidak merasa nyaman dengan topangan ini dan minta orang itu untuk meninggalkan aku sendirian karena aku ingin berjalan sendiri. Tetapi, sosok yang tidak dapat aku kenali itu tidak mau meninggalkan aku sesaat pun. Aku menjadi tidak sabar dan berpaling serta menghempaskan orang itu dariku. Pada saat itu, aku melihat bahwa ia adalah Muder Superior, dan pada saat yang sama aku melihat bahwa ia bukan Muder Superior, tetapi Tuhan Yesus yang memandang tajam ke dalam hatiku dan memberiku pengertian betapa menyakitkan bagi-Nya ketika aku, bahkan dalam hal-hal yang paling ringan, tidak melakukan kehendak superior, 

“yang adalah kehendak-Ku,”
[kata-Nya]. 

Aku minta ampun kepada Tuhan dan dengan segenap hatiku aku menyimpan hal ini dalam hatiku. 

(330) 

Pernah, bapak pengakuan meminta aku agar berdoa untuk intensinya, dan aku memulai suatu novena kepada Bunda Allah. Novena ini meliputi doa Salam, Ratu Surga, yang didaras sembilan kali. Menjelang akhir novena itu aku melihat Bunda Allah dengan Bayi Yesus di pelukannya, dan aku juga melihat bapak pengakuanku berlutut dekat kakinya dan berbicara dengan dia. Aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan dia sebab aku sibuk berbicara dengan Bayi Yesus, yang turun dari pelukan ibu-Nya dan mendekatiku. Aku tidak dapat berhenti mengagumi ketampanan-Nya. Aku mendengar beberapa kata yang diucapkan Bunda Allah kepadanya [yakni, bapak pengakuanku] tetapi tidak semuanya. Kata-kata itu adalah, 

“Aku bukan hanya Ratu Surga, tetapi juga Bunda Berbelas Kasih dan Bundamu.” 

Dan pada saat itu ia mengulurkan tangan kanannya sambil membentangkan mantolnya, dan ia menyelubungi imam itu dengannya. Pada saat itu, penglihatan itu pun lenyap. 

(331) 

Oh, sungguh karunia yang amat besar memiliki seorang pembimbing rohani! Orang dapat maju dalam keutamaan dengan lebih pesat, ia dapat melihat kehendak Allah dengan lebih jelas, memenuhinya dengan lebih setia, dan dapat menempuh jalan yang aman dan bebas dari bahaya. Pembimbing rohani tahu bagaimana menghindari batu-batu yang dapat menghancurkan. Memang, agak lambat Tuhan memberi rahmat ini kepadaku, tetapi aku sangat bersukacita karenanya sebab aku menyadari bagaimana Allah mencondongkan kehendak-Nya kepada keinginan-keinginan pembimbing rohaniku. Aku hanya akan menyebut satu kejadian di antara ribuan kejadian yang telah terjadi atas diriku. Seperti biasanya, pada suatu petang aku mohon kepada Tuhan Yesus untuk memberiku butir-butir renungan untuk keesokan harinya. Aku menerima jawaban, 

“Renungkanlah Nabi Yunus dan perutusannya!” 

Aku bersyukur kepada Tuhan, tetapi aku mulai berpikir dalam hatiku betapa berbedanya topik itu dari topik-topik yang lain. Tetapi dengan segenap jiwaku, aku berusaha merenungkannya, dan aku mengenali diriku sendiri dalam pribadi sang nabi, dalam arti bahwa sering kali aku juga berusaha mencari dalih terhadap Tuhan, dengan mengatakan bahwa orang lain akan melaksanakan kehendak kudus-Nya dengan lebih baik [daripada aku], dan aku tidak memahami bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu dan bahwa kemahakuasaan-Nya akan lebih nyata kalau alatnya lebih sederhana. Allah menjelaskan hal ini kepadaku dengan cara sebagai berikut. Petang itu, ada pengakuan dosa komunitas. Kepada pembimbing rohani jiwaku, aku membeberkan ketakutan yang mencekam aku karena misi yang aku terima, dan untuk misi itu Allah menggunakan aku, alat yang sama sekali kurang memadai. Ketika mendengar hal itu, bapak rohaniku menjawab bahwa mau atau tidak kita harus melaksanakan kehendak Allah, dan imam itu menunjukkan kepadaku Nabi Yunus sebagai contoh. Sesudah pengakuan, aku heran bagaimana bapak pengakuan itu tahu bahwa Allah telah menyuruh aku bermeditasi mengenai Yunus; padahal aku sendiri tidak memberitahukan kepadanya. Kemudian aku mendengar suara-suara ini, 

“Apabila imam bertindak sebagai wakil-Ku, ia tidak bertindak dari dirinya sendiri, tetapi Aku yang bertindak lewat dia. Harapannya adalah harapan-Ku.” 

Kini, aku dapat melihat bagaimana Yesus membela wakil-wakil-Nya. Ia sendiri masuk ke dalam tindakan mereka. 

(332) 

Kamis. 

Ketika memulai ibadat Jam Kudus, aku membenamkan diriku dalam sakratulmaut Yesus di Taman Zaitun. Maka, aku mendengar suatu suara dalam jiwaku, 

“Renungkanlah misteri Inkarnasi.” 

Dan tiba-tiba, Bayi Yesus tampak di hadapanku, bersinar-sinar memancarkan keindahan. Ia memberitahukan kepadaku betapa Allah sangat berkenan akan kesederhanaan dalam suatu jiwa. 

“Meskipun keagungan-Ku melampaui segala pengertian, aku menyatukan diri-Ku hanya dengan mereka yang kecil. Aku menuntut darimu semangat seorang anak.” 

(333) 

Kini, aku melihat dengan jelas bagaimana Allah bertindak lewat bapak pengakuan, dan betapa setianya Allah memegang janji-janji-Nya. Dia pekan yang lalu, bapak pengakuanku menyuruh aku merenungkan sifat rohani seorang anak. Mula-mula sedikit sulit, tetapi bapak pengakuanku, tanpa memperdulikan kesulitan-kesulitanku, menyuruh aku terus merenungkan sifat rohani seorang anak. 

“Secara praktis, sifat seorang anak,” [katanya], “tampak sebagai berikut: seorang anak tidak mencemaskan masa lampau ataupun masa depan. Ia asyik menggunakan waktu yang sekarang ada. 
Saya ingin menekankan agar ciri rohani seperti seorang anak ini ada dalam diri Suster; saya sangat menekankannya.” 

(334) 

Aku dapat melihat betapa Allah tunduk kepada keinginan-keinginan bapak pengakuanku; pada saat itu Allah tidak memperlihatkan diri-Nya kepadaku sebagai seorang Guru dengan seluruh kekuatan-Nya dan kedewasaan insani-Nya, tetapi sebagai seorang Anak kecil. Allah yang melampaui segala pengertian membungkuk kepadaku dalam rupa seorang Anak kecil. 

Tetapi, mata jiwaku tidak berhenti pada permukaan. Meskipun Engkau mengambil rupa seorang Anak, aku melihat dalam diri-Mu Tuhan semua tuan; Engkau kekal dan tak terbatas, Engkau disembah oleh roh-roh yang murni, siang dan malam, dan bagi-Mu hati para Serafim berkobar-kobar dengan api cinta yang paling murni. 

Ya Kristus, ya Yesus, aku ingin mengungguli mereka dalam cintaku akan Dikau! Aku minta maaf kepada kalian, hai roh-roh yang murni, atas keberanianku membandingkan diriku dengan kalian. Aku hanyalah tumpukan kemalangan, jurang kepapaan; sedangkan Engkau, ya Allah, adalah kedalaman kerahiman yang tak terselami, yang menekan aku ibarat panas matahari melahap setetes embun! Satu tatapan mata penuh kasih dari-Mu akan meratakan jurang. 

Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas keagungan Allah. Menyaksikan keagungan Allah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia sepanjang segala abad! 

(335) 

Pernah ketika aku melihat Yesus dalam wujud seorang anak kecil, aku bertanya, 

“Yesus, mengapa saat ini ketika bersatu denganku, Engkau tampil dalam ujud seorang anak? Kendati semua ini, aku tetap melihat dalam diri-Mu Allah yang tak terbatas, Tuhanku dan Penciptaku,” 

Yesus menjawab bahwa Ia bergaul denganku sebagai seorang anak kecil sampai saatnya aku sudah memahami kesederhanaan dan kerendahan hati. 

(336) 

1934. 

Dalam misa kudus ketika Tuhan Yesus ditampilkan dalam Sakramen Mahakudus, sebelum komuni aku melihat dua sinar memancar dari Hosti kudus, persis seperti yang terlukis dalam gambar, satu merah dan yang lain pucat. Dan kedua sinar itu memancar atas setiap suster dan setiap siswi, tetapi dengan cara yang tidak sama. Pada beberapa dari antara mereka kedua sinar itu hampir tak kelihatan. Itulah hari terakhir dari retret anak-anak. 

(337) 

22 November 1934. 

Sekali peristiwa, pembimbing rohaniku menyuruh aku introspeksi dengan saksama dan meneliti apakah aku memiliki suatu kelekatan kepada suatu benda atau ciptaan tertentu, atau bahkan kepada diriku sendiri; atau apakah aku terlibat dalam obrolan yang sia-sia. 

“Sebab semua hal ini,” [katanya], “menghambat Tuhan Yesus dengan bebas menata jiwamu. Allah itu cemburu akan hati kita dan Ia menghendaki agar kita hanya mengasihi Dia.” 

(338) 

Ketika aku mulai mawas diri dengan saksama, aku sama sekali tidak menemukan satu keterikatan pada suatu pun. Tetapi, seperti dalam semua hal yang menyangkut diriku, demikian juga dalam hal ini, aku takut dan tidak percaya akan diriku sendiri. Letih karena pemeriksaan batin yang rumit ini, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon kepada Yesus dengan segenap tenaga jiwaku, 

“Yesus, Mempelaiku, Harta hatiku, Engkau tahu bahwa aku hanya mengenal Engkau dan bahwa aku tidak memiliki kekasih lain selain Engkau; tetapi Yesus, kalau aku tergoda untuk terikat pada sesuatu yang bukan Engkau, aku mohon dan mendesak kepada-Mu, Yesus, dengan kuasa kerahiman-Mu, biarlah seketika itu juga kematian turun atas diriku sebab lebih baik aku mati seribu kali daripada tidak setia kepada-Mu satu kali bahkan dalam perkara yang paling kecil.” 

(339) 

Pada saat itu, Yesus tiba-tiba berdiri di hadapanku, tanpa kuketahui dari mana. Ia bercahaya dengan keindahan yang sulit dipercaya, mengenakan jubah putih, dengan kedua tangan terangkat, dan Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku, 

“Putri-Ku, hatimu adalah tempat istirahat-Ku; hatimu adalah kesukaan-Ku. Di dalamnya, Aku mendapati segala sesuatu yang ditolak oleh begitu banyak jiwa. Katakan ini kepada wakil-Ku.” 

Dan sesaat kemudian, aku tidak melihat apa-apa, tetapi seluruh samudra penghiburan mengalir ke dalam jiwaku. 

(340) 

Kini aku tahu bahwa tidak suatu pun dapat menhentikan kasihku bagi-Mu, ya Yesus, baik penderitaan, sengsara, api, pedang, maupun kematian sendiri. Aku merasa lebih kuat daripada semua hal itu. Tidak ada suatu pun yang dapat dibandingkan dengan kasih. Aku menyaksikan bahwa hal-hal paling kecil yang dilakukan oleh jiwa yang mengasihi Allah dengan tulus hati memiliki nilai yang luar biasa dalam pandangan mata-Nya yang kudus. 

(341) 

5 November 1934. 

Pada suatu pagi, sesudah membuka gerbang untuk membiarkan orang masuk orang-orang kami yang mengantar makanan, aku masuk ke kapel kecil untuk mengunjungi Yesus sejenak dan untuk membarui niat-niatku hari ini. 

“Ya Yesus, hari ini aku mempersembahkan kepada-Mu semua penderitaan, mati raga dan doa-doaku untuk Bapa Suci supaya ia dapat mengesahkan Pesta Kerahiman. Tetapi, ya Yesus, aku mempunyai satu kata lagi untuk kusampaikan kepada-Mu: aku sangat heran bahwa Engkau meminta aku berbicara tentang Pesta Kerahiman ini karena orang berkata bahwa pesta seperti itu sudah ada; karena itu, mengapa aku harus berbicara mengenai hal ini?” 

Dan Yesus berkata kepadaku, 

“Tetapi, siapa yang tahu itu? 
Tidak seorang pun! 
Bahkan mereka yang seharusnya memaklumkan kerahiman-Ku dan mengajar umat mengenai kerahiman-Ku sering kali tidak mengetahui hal ini. 
Itulah sebab Aku menghendaki gambar itu diberkati secara meriah pada Hari Minggu pertama sesudah Paskah, dan Aku menghendaki gambar itu dihormati secara publik supaya setiap jiwa dapat mengenalnya.” 

“Lakukanlah novena untuk ujud-ujud Bapa Suci. Novena ini hendaknya mencakup tiga puluh tiga doa; yakni pengulangan sebanyak itu doa singkat kepada Kerahiman Ilahi - yang telah Kuajarkan kepadamu.” 

(342) 

Penderitaan adalah harta terbesar di bumi ini; penderitaan mampu memurnikan jiwa. Dengan penderitaan, kita mengetahui siapa sahabat sejati kita. Cinta sejati diukur dengan menggunakan penderitaan. 

(343) 

Ya Yesus, aku bersyukur kepada-Mu atas salib-salib harian yang kecil, atas rintangan terhadap usaha-usahaku, atas kerasnya kehidupan bersama, atas salah tafsir terhadap maksud-maksudku, atas penghinaan dari pihak orang-orang lain, atas perlakuan kasar terhadap kami, atas kecurigaan-kecurigaan yang tidak beralasan, atas buruknya kesehatan dan hilangnya kekuatan, atas penyangkalan diri, atas mati terhadap diri sendiri, atas kurangnya pemahaman dalam segala sesuatu, atas kacau-balaunya semua rencanaku. 

Syukur kepada-Mu, ya Yesus, atas penderitaan batin, atas kegersangan rohani, atas kegentaran, atas ketakutan dan kegelisahan, atas kegelapan dan malam batin yang pekat, atas pencobaan dan aneka siksaan, atas siksaan yang terlalu sulit dilukiskan, khususnya atas semua hal yang tidak dipedulikan orang, atas saat kematian dengan pergulatannya yang menakutkan dan atas semua kepahitannya. 

Aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus, karena Engkau sudah lebih dulu minum piala kepahitan itu sebelum Engkau memberikannya kepadaku dalam ukuran yang jauh lebih ringan. Aku menempelkan bibirku pada piala kehendak-Mu yang kudus. Biarlah semua terjadi menurut perkenan-Mu; biarlah apa yang ditetapkan oleh kebijaksanaan-Mu sebelum segala abad terlaksana padaku. Aku ingin meminum piala itu sampai tetes terakhir, dan tidak ingin tahu alasannya. Dalam kepahitanlah - sukacitaku, dalam keputusasaanlah - kepercayaanku. Dalam Dikau, ya Tuhan, segalanya baik, segalanya adalah anugerah hati kebapaan-Mu. Aku tidak mengutamakan penghiburan di atas kepahitan atau kepahitan di atas penghiburan, tetapi atas segala sesuatu aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus! Adalah kesukaanku untuk menatap Engkau, ya Allah yang tak terselami. Rohku tinggal di dalam keberadaan yang misterius, dan di sana aku merasa betah. Aku tahu dengan baik tempat kediaman Mempelaiku. Aku merasa tidak ada satu tetes darah pun di dalam diriku yang tidak berkobar oleh kasihku pada-Mu. 

O Keindahan Yang Tak Tercipta, siapa saja mengenal Engkau sekali saja, ia tidak dapat mengasihi sesuatu yang lain. Aku dapat merasakan lubuk jiwaku yang tanpa dasar, dan tidak ada suatu pun yang dapat memenuhinya kecuali Allah sendiri. Aku merasa bahwa aku tenggelam dalam Dia seperti sebutir pasir dalam samudra yang tak terduga dalamnya. 

(344) 

20 Desember 1934. 

Pada suatu petang ketika aku memasuki kamarku, aku melihat Tuhan Yesus tampak dalam suatu monstrans di langit terbuka. Pada kaki Yesus, aku melihat bapak pengakuanku, dan di belakangnya sejumlah besar pejabat gerejawi tingkat tertinggi; mereka mengenakan jubah yang belum pernah aku lihat kecuali dalam penglihatan ini; di belakang mereka, tampak himpunan biarawan/wati dari aneka Kongregasi; dan lebih ke belakang lagi aku melihat himpunan orang yang luar biasa banyaknya, yang membentang jauh melampaui penglihatanku. Aku melihat dua sinar memancar dari Hosti, seperti dalam gambar itu, berpadu sangat dekat tetapi tidak tercampur; dan kedua sinar itu menembus tangan bapak pengakuanku, dan kemudian lewat tangan para klerus dan dari tangan mereka sinar itu memancar kepada umat, dan kemudian kembali ke Hosti itu ... dan pada saat itu aku melihat diriku sendiri sekali lagi di dalam kamarku yang baru saja aku masuki. 

(345) 

22 Desember 1934. 

Dalam pekan ini, aku mempunyai kesempatan untuk pergi ke pangukan dosa. Ketika aku tiba, kebetulan bapak pengakuanku sedang merayakan misa kudus. Dalam bagian ketiga misa itu, aku melihat Bayu Yesus, sedikit lebih kecil daripada biasanya dan dengan perbedaan ini, yakni Ia mengenakan jubah ungu. Biasanya Ia mengenakan jubah putih. 

(346) 

24 Desember 1934. 

Malam natal. 

Dalam misa pagi, aku merasa sangat dekat dengan Allah. Meskipun aku hampir tidak menyadarinya, rohku terbenam dalam Allah. Tiba-tiba, aku mendengar suara ini, 

“Engkau adalah tempat kediaman-Ku yang menyenangkan; Roh-Ku beristirahat dalam diri-Mu.” 

Sesudah mendengar suara itu, aku merasa Tuhan menatap ke dalam lubuk hatiku; sambil melihat kepapaanku, aku merendahkan diriku dalam roh dan mengagumi kerahiman Allah yang luar biasa, yakni bahwa Tuhan yang mahatinggi berkenan menghampiri aku yang sedemikian papa. 

Pada waktu komuni kudus, sukacita memenuhi jiwaku. Aku merasa bahwa aku dipersatukan secara erat dengan ke-Allah-an. Kemahakuasaan-Nya meliputi seluruh keberadaanku. Sepanjang hari ini, aku merasakan kedekatan dengan Allah secara istimewa; pada hari ini, tugas-tugasku sepanjang hari ini sedemikian banyak sehingga aku tidak dapat pergi ke kapel barang sejenak pun; meskipun demikian, tidak sesaatpun aku tidak bersatu dengan Allah. Aku merasakan Dia ada di dalam diriku lebih jelas daripada kapan pun sebelumnya. Sambil tanpa henti memberi salam kepada Bunda Allah dan masuk ke dalam rohnya, aku meohon kepadanya untuk mengajar kepadaku cinta sejati kepada Allah. Dan kemudian aku mendengar suara ini, 

“Malam ini, dalam misa kudus, Aku akan membagikan kepadamu rahasia kebahagiaan-Ku.” 

Kami makan malam sebelum pukul enam. Kendati semua sukacita dan kegaduahn lahiriah yang menyertai acara pembagian oplatek dan saling bertukar harapan, tidak sedetik pun aku kehilangan kesadaran akan kehadiran Allah. Sesudah makan malam, kami bergegas menyelesaikan pekerjaan, dan pada pukul sembilan aku dapat pergi ke kapel untuk adorasi. Aku diizinkan untuk tetap terjaga dan menantikan misa malam. Aku sangat senang memiliki waktu luang dari pukul sembilan sampai tengah malam. Mulai pukul sembilan sampai pukul sepuluh, aku mempersembahkan adorasiku untuk orang tua dan seluruh keluargaku. Dari pukul sepuluh sampai pukul sebelas, aku mempersembahkannya untuk ujud pembimbing rohaniku, pertama-tama bersyukur kepada Allah karena sudah memberi aku pertolongan yang besar dan nyata di bumi ini, sebagaimana telah Ia janjikan kepadaku; di samping itu, aku mohon kepada Allah untuk memberinya terang yang ia perlukan sehingga ia dapat mengenal jiwaku dan membimbing aku sesuai dengan perkenan Allah yang baik. Dan, dari pukul sebelas sampai pukul dua belas, aku berdoa untuk Gereja Kudus dan para klerus, untuk para pendosa, untuk karya misi dan untuk rumah-rumah Kongregasi kami. Aku memohon indulgensi untuk jiwa-jiwa di Purgatorium. 

(347) 

25 Desember 1934. Pukul 00.00 

Misa Tengah Malam. Begitu misa kudus dimulai, serta merta aku merasakan permenungan batin yang sangat mendalam; sukacita memenuhi jiwaku. Pada waktu persiapan persembahan, aku melihat Yesus di altar, tak tertandingi indahnya. Sepanjang waktu itu Sang Bayi terus memandangi setiap orang, sambil merentangkan tangan-tangan-Nya yang mungil. Pada waktu Hosti diangkat, Kanak-kanak Yesus tidak memandang ke ruang kapel tetapi menengadah ke surga. Sesudah pengangkatan, Ia memandang kami lagi, tetapi hanya untuk waktu yang singkat sebab Ia dipatahkan dan dimakan oleh imam seperti biasanya. Tetapi, ikat pinggang-Nya kini berwarna putih. Hari berikutnya aku melihat hal yang sama, demikian juga pada hari ketiga. Sangat sulit bagiku untuk mengungkapkan sukacita jiwaku. Penglihatan itu terulang pada ketiga misa dengan cara yang sama seperti dalam misa yang pertama. 

(348) 

Tahun 1934. 

Kamis pertama sesudah Natal. 

Aku sama sekali lupa bahwa itu hari Kamis dan karena itu aku tidak melakukan adorasiku. Pada pukul sembilan aku langsung pergi ke kamar tidur bersama suster-suster lain. Tetapi cukup aneh, aku tidak dapat tidur. Aku merasa bahwa aku belum melakukan sesuatu yang mestinya aku lakukan. Dalam hati, aku memeriksa kembali semua tugasku hari ini, dan aku tidak ingat akan suatu pun. Ini berlangsung sampai pukul sepuluh. Pada pukul sepuluh, aku melihat Yesus dengan wajah yang sedih. Kemudian, Yesus mengucapkan kata-kata ini kepadaku, 

“Aku sudah menunggu untuk berbagi penderitaan-Ku denganmu karena tidak seorang pun dapat memahami penderitaan-Ku lebih baik daripada mempelai-Ku.” 

Aku minta maaf kepada Yesus karena kebekuan hatiku. Aku malu dan tidak berani memandang Tuhan Yesus, tetapi dengan hati yang remuk redam, aku mohon kepada-Nya untuk memberikan kepadaku satu duri dari mahkota-Nya. Ia menjawab bahwa Ia akan memenuhi permintaan ini, tetapi baru besok pagi, dan seketika itu juga penglihatan itu lenyap. 

(349) 

Pada pagi hari, dalam meditasi, aku merasa satu duri yang menyakitkan di sisi kiri kepalaku. Penderitaan ini berlangsung sepanjang hari. Aku terus merenungkan bagaimana Yesus dapat menanggung rasa sakit akibat begitu banyak duri yang ada pada mahkota-Nya. Aku menggabungkan penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya untuk orang-orang berdosa. Pada pukul empat ketika aku pergi untuk adorasi, aku melihat salah seorang siswi kami sangat menyakiti hati Allah dengan dosa-dosa pikiran kotor. Aku melihat juga orang yang menyebabkan ia berdosa. Jiwaku tertusuk oleh ketakutan, dan aku mohon kepada Allah, demi sengsara Yesus, untuk merenggut dia dari kemalangan yang mengerikan itu. Yesus menjawab kepadaku bahwa Ia akan memberikan karunia itu kepadanya, bukan karena permintaannya, tetapi karena permintaanku. Kini aku tahu betapa banyak kami harus berdoa untuk orang-orang berdosa, dan khususnya untuk siswi-siswi kami. 

(350) 

Hidup kami sungguh apostolik; aku tidak dapat membayangkan seorang biarawati hidup dalam salah satu rumah kami, yakni dalam Kongregasi kami, dan tidak memiliki semangat apostolik. Semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa harus sungguh berkobar-kobar dalam hati kami.



Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku

Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku (Audio)

Refleksi Harian Kerahiman Ilahi