-->

Catatan Harian St.Faustina: 51 - 100

KERAHIMAN ILAHI DALAM JIWAKU

Buku Catatan Harian Abdi Allah

Santa Maria Faustina Kowalska

anggota Kaul Kekal dari

Kongregasi Santa Perawan Maria Berbelas Kasih

 

Buku 1

Catatan Harian : 51 - 100

(51) 

Ketika aku menyampaikan hal ini kepada Muder Superior bahwa Allah telah meminta hal itu dariku, ia menjawab bahwa Yesus mestinya memberikan suatu tanda supaya dapat diketahui dengan lebih jelas.

Ketika aku minta kepada Tuhan Yesus untuk memberikan suatu tanda sebagai bukti - bahwa Engkau sungguh Allahku dan Tuhanku, dan bahwa permintaan ini datang dari Engkau, - aku mendengar suara ini di dalam hatiku,

“Aku akan menjelaskan semua ini kepada Muder Superior lewat rahmat yang akan Kuberikan melalui gambar ini.”

(52) 

Ketika aku berusaha menghindar dari ilham-ilham batin ini, Allah berkata kepadaku bahwa pada hari penghakiman Ia akan menuntut dariku tanggung jawab atas sejumlah besar jiwa.

(53) 

Pernah, aku merasa keletihan karena beragam kesulitan yang menimpa aku berhubung dengan apa yang telah dikatakan Yesus kepadaku dan apa yang Ia tuntut dariku untuk melukis gambar ini. Maka aku menata pikiranku untuk mendekati P. Andrasz sebelum aku mengikrarkan kaul kekal, dan untuk minta kepadanya supaya membebaskan aku dari semua inspirasi batin ini dan dari kewajiban untuk melukis gambar ini. Sesudah mendengarkan pengakuanku, Pater Andrasz memberikan jawaban ini kepadaku,

“Aku tidak membebaskan Suster dari apa pun; tidaklah tepat bagi Suster untuk menghindar dari aspirasi batin ini, tetapi mutlak perlu - saya tegaskan lagi, mutlak - Suster berbicara dengan bapak pengakuanmu; kalau tidak, suster akan sesat biarpun diberi banyak rahmat ilahi. Untuk sementara Suster datang kepadaku untuk mengaku dosa, tetapi ketahuilah, Suster harus memiliki seorang bapak pengakuan yang tetap; yakni seorang pembimbing rohani.”

Karena kata-kata itu, aku menjadi sangat gelisah. Aku pikir aku akan dibebaskan dari segala sesuatu, dan yang terjadi justru sebaliknya suatu perintah jelas untuk mengikuti perintah Yesus. Dan sekarang masih ada siksaan lain karena aku tidak memiliki seorang bapak pengakuan yang tetap. Meskipun aku pergi kepada bapak pengakuan yang sama untuk suatu masa tertentu, aku tidak dapat membuka jiwaku kepadanya dalam kaitan dengan semua rahmat ini, dan ini menimbulkan rasa sakit yang tak terperikan dalam diriku. Maka aku minta kepada Yesus untuk memberikan rahmat ini kepada orang lain sebab aku tidak tahu bagaimana menggunakannya dan hanya menyia-nyiakannya.

“Yesus, kasihanilah aku; janganlah mempercayakan hal-hal yang sedemikian besar kepadaku karena Engkau tahu bahwa aku ini hanyalah sebutir debu.”

Tetapi, kebaikan Yesus itu tidak terbatas; Ia telah menjanjikan kepadaku pertolongan yang kasat mata di bumi ini, dan tidak lama kemudian aku menerimanya di Vilnius, dalam diri Pastor Sopocko. Aku sudah mengenal dia sebelum aku datang ke Vilnius, dalam suatu penglihatan batin. Puji Tuhan! Suatu hari, aku melihat dia di kapel kami, di antara altar dan ruang pengakuan, dan tiba-tiba aku mendengar suara dalam jiwaku yang berkata,

“Inilah bantuan kasat mata bagimu di bumi ini. Ia akan membantu engkau melaksanakan kehendak-Ku di bumi ini.”

(54) 

Suatu hari, dalam keadaan letih karena semua ketidakpastian itu, aku bertanya kepada Yesus,

“Yesus, benarkah Engkau ini Allahku atau salah satu jenis hantu? Sebab para Muder Superiorku berkata bahwa semua itu hanya ilusi dan khayalan. Kalau Engkau sungguh Allahku, aku mohon kepada-Mu untuk memberkati aku.”

Maka Yesus membuat tanda salib besar atas diriku dan aku pun membuat tanda salib pada diriku. Ketika aku minta ampun dari Yesus atas pertanyaan itu, Ia menjawab bahwa pertanyaanku itu sama sekali tidak menggusarkan Hati-Nya dan bahwa kepercayaanku sangat menyenangkan Dia.

(55) 

1933. Nasihat rohani yang diberikan kepadaku oleh Pastor Andrasz, SJ.

Pertama: Suster tidak boleh menghindar dari inspirasi batin ini, tetapi katakanlah selalu semua itu kepada bapak pengakuanmu. Kalau Suster yakin bahwa inspirasi batin itu tidak hanya berkaitan dengan dirimu sendiri, artinya semua itu bermanfaat untuk jiwamu dan untuk jiwa-jiwa lain, aku mendesak Suster untuk mengikutinya; Suster tidak boleh mengabaikannya, tetapi selalu melakukannya dengan berkonsultasi dengan bapak pengakuanmu.

Kedua: Kalau inspirasi batin itu tidak selaras dengan iman dan semangat Gereja, harus langsung ditolak sebagai sesuatu yang datang dari roh jahat.

Ketiga: Kalau inspirasi itu tidak berkaitan dengan jiwa-jiwa pada umumnya, atau tidak sungguh bermanfaat bagi mereka, Suster hendaknya tidak menanggapinya terlalu serius, dan kiranya akan lebih baik untuk mengabaikannya.

Tetapi, hendaknya Suster tidak mengambil keputusan seorang diri sebab dengan mudah akan tersesat meskipun rahmat-rahmat ilahi yang besar. Rendah hatilah, rendah hatilah, dan sekali lagi rendah hatilah, karena manusia tidak dapat berbuat suatu pun dari dirinya sendiri; segala sesuatu itu murni karena rahmat Allah.

Suster berkata kepadaku bahwa Allah menuntut kepercayaan yang besar dari jiwa-jiwa; maka, Suster harus menjadi orang pertama yang menunjukkan kepercayaan itu.

Dan satu kata lagi - terimalah semua ini dengan pikiran yang jernih.

Inilah kata-kata dari salah seorang bapak pengakuan,

“Suster, Allah sedang mempersiapkan banyak rahmat istimewa bagimu, tetapi berusahalah membuat hidupmu sebening tetes air mata di hadapan Tuhan, dengan tanpa memperdulikan apa yang dipikirkan orang lain tentang Suster. Biarlah Allah cukup bagimu; hanya Dia.”

Menjelang akhir novisiatku, seorang bapak pengakuan berkata kepadaku,

“Gunakanlah seluruh hidupmu untuk melakukan yang baik sehingga aku dapat menulis pada lembaran-lembaran hidupmu: ‘Ia menggunakan seluruh hidupnya untuk berbuat baik.’ Kiranya Allah mewujudkan semua ini dalam diri Suster.”

Pada waktu yang lain bapak pengakuan berkata kepadaku,

“Bersikaplah di hadapan Allah seperti janda miskin dalam Injil, meskipun uang yang ia masukkan ke dalam peti persembahan itu kecil nilainya, di hadapan Allah nilainya jauh lebih tinggi daripada semua persembahan besar dari orang-orang yang lain.”

Pada kesempatan lain aku mendapat nasihat ini,

“Berusahalah supaya semua yang datang bertemu denganmu akan pergi dengan penuh sukacita. Taburkanlah harumnya kebahagiaan di sekitarmu sebab kamu telah menerima banyak hal dari Allah; jadi, berilah dengan murah hati kepada orang lain. Hendaknya mereka meninggalkan kamu dengan hati yang lebih bahagia, juga kalaupun mereka hanya menyentuh pinggir jubahmu. Camkanlah baik-baik kata-kata yang saat ini kusampaikan kepadamu.”

Pada kesempatan lain, ia masih memberiku anjuran berikut ini,

“Biarlah Allah mendorong perahumu ke tempat yang dalam, menuju lubuk kehidupan batin yang tak terselami.”

Inilah beberapa kata dari suatu percakapan yang aku adakan dengan Muder Pembimbing menjelang akhir masa novisiatku,

“Suster, biarlah kesederhanaan dan kerendahan hati menjadi ciri khas jiwamu. Jalanilah hidupmu bagaikan seorang anak kecil, yang selalu percaya, selalu polos dan rendah hati, puas dengan segala sesuatu, ceria dalam segala situasi. Sementara orang lain diliputi ketakutan, Suster akan melangkah dengan tenang, berkat kesederhanaan dan kerendahan hati. Suster, ingatlah ini sepanjang seluruh hidupmu sebagaimana air mengalir dari gunung turun ke lembah-lembah, demikian juga rahmat Allah mengalir hanya ke dalam jiwa-jiwa yang rendah hati.”

(56) 

Ya, Allahku, aku sungguh paham bahwa Engkau menuntut sikap kanak-kanak rohani ini dariku sebab lewat wakil-wakil-Mu Engkau terus menerus memintanya dariku.

Pada awal kehidupan religiusku, penderitaan dan kesengsaraan membuat aku takut dan berkecil hati. Maka aku berdoa terus menerus, memohon kepada Yesus untuk menguatkan diriku dan memberikan kekuatan Roh Kudus-Nya supaya aku dapat melaksanakan kehendak kudus-Nya dalam segala hal sebab sejak semula aku telah menyedari kerapuhanku. Aku tahu dengan baik seperti apa diriku sebab untuk maksud inilah Yesus telah membuka mata jiwaku; aku ini jurang kepapaan, dan berkat itu aku memahami bahwa apa pun yang baik yang ada dalam jiwaku, itu hanya karena rahmat-Nya yang kudus. Pada saat yang sama, kesadaran akan kepapaan pribadiku membuat aku menyadari besarnya kerahiman-Mu. Dalam kehidupan batinku, dengan mata yang satu aku memandang jurang kepapaan dan kehinaanku, sedangkan dengan mata yang lain aku memandang dalamnya kerahiman-Mu, ya Allah.

(57) 

O Yesusku, Engkaulah kehidupanku. Engkau tahu dengan baik bahwa yang aku dambakan tidak lain adalah kemuliaan nama-Mu dan supaya jiwa-jiwa datang untuk mengenal kebaikan-Mu. 

O Yesus, mengapa jiwa-jiwa menghindari Engkau? - Aku tidak mengerti. 

O, andaikan aku dapat memotong-motong hatiku menjadi potongan-potongan kecil dan mempersembahkan kepada-Mu, ya Yesus, setiap potongan sebagai satu hati penuh dan utuh, supaya biarpun sebagian saja menjadi penyilihan atas hati orang yang tidak mencintai Engkau! Yesus, aku mencintai Engkau dengan setiap tetes darahku, dan aku ingin dengan senang hati mencurahkan darahku demi Engkau untuk memberikan kepada-Mu suatu bukti dari kesungguhan cintaku. 

O Allah, semakin baik aku memahami Engkau, semakin kurang rasanya aku mengenal Engkau, tetapi “ketidaktahuan” ini memungkinkan aku menyadari betapa agunglah Engkau! Dan kemustahilan untuk mengenal Engkau inilah yang kembali menyalakan hatiku bagi-Mu, 

O Tuhanku. Sejak saat Engkau membiarkan aku menambatkan mata jiwaku kepada-Mu,

O Yesus, aku telah menikmati ketenangan dan tidak menginginkan sesuatu lain apa pun. Aku menyadari nasibku pada saat jiwaku kehilangan dirinya di dalam Engkau, satu-satunya sasaran cintaku. Dibandingkan dengan Engkau, segala sesuatu itu hampa belaka. Penderitaan, permusuhan, penghinaan, kegagalan dan kecurigaan yang menghadang jalanku adalah ibarat serpihan-serpihan kayu yang membuat api cintaku bagi-Mu, O Yesus, tetap berkobar.

Keinginan-keinginanku sungguh gila dan tak mungkin dicapai. Aku ingin menyembunyikan dari Engkau bahwa aku sedang menderita. Aku ingin tidak pernah mendapat penghargaan atas usaha-usahaku dan atas perbuatan-perbuatan baikku. Engkau sendirilah, ya Yesus, satu-satunya ganjaran bagiku; Engkau sendiri sudah cukup, o Harta Karun hatiku! Dengan tulus aku ingin ikut serta dalam penderitaan sesamaku dan aku ingin menyembunyikan penderitaanku sendiri, tidak hanya dari mereka, tetapi juga dari Engkau, Yesus.

Penderitaan adalah suatu rahmat yang besar; lewat penderitaan, jiwa menjadi seperti Juru Selamat; dalam penderitaan, cinta menjadi kenyataan; semakin berat penderitaan, semakin murnilah cinta.

(58) 

Pada suatu malam, seorang suster yang telah meninggal dua bulan sebelumnya datang kepadaku. Dia adalah seorang suster dari kelompok kor pertama. Aku melihat dia dalam keadaan yang mengerikan, seluruh tubuhnya terbakar dengan wajahnya dipenuhi luka yang menyakitkan. Penglihatan ini terjadi dengan sekejap, dan kemudian ia menghilang. Suatu rasa ngeri menyelimuti jiwaku sebab aku tidak tahu apakah ia menderita di Purgatorium atau di neraka. Bagaimanapun aku menggandakan doa-doaku baginya. Malam berikutnya ia datang lagi, tetapi aku melihatnya dalam keadaan yang bahkan lebih mengerikan, di tengah-tengah nyala api yang lebih berkobar-kobar, dan rasa putus asa terlukis di seluruh wajahnya. Aku heran melihat dia dalam keadaan yang lebih buruk sesudah doa-doa yang kupanjatkan baginya, dan aku bertanya,

“Tidakkah doa-doaku membantumu?” 

Ia menjawab bahwa doa-doaku tidak membantu dia dan bahwa tidak ada suatu pun yang akan dapat membantu dia. 

Aku bertanya,

“Dan doa yang dipanjatkan seluruh komunitas bagimu, tidakkah semua itu memberikan bantuan bagimu?”

Ia berkata tidak, sebab doa-doa itu telah membantu jiwa-jiwa yang lain. Aku menyahut,

“Suster, kalau doa-doaku tidak menolongmu, aku mohon jangan lagi datang kepadaku.”

Seketika itu juga ia menghilang. Meskipun demikian, aku tetap berdoa.

Sesudah beberapa lama ia datang lagi kepadaku pada waktu malam, tetapi penampilannya sudah berubah. Tidak ada lagi nyala api, seperti sebelumnya, dan wajahnya kini bersinar, matanya memancarkan sukacita. Ia memberitahukan kepadaku bahwa aku memiliki cinta sejati kepada sesamaku dan bahwa banyak jiwa lain telah mendapat pertolongan dari doa-doaku. Ia mendesak aku untuk terus menerus berdoa bagi jiwa-jiwa di Purgatorium, dan ia menambahkan bahwa ia sendiri tidak akan tinggal di Purgatorium lebih lama lagi. Betapa mengagumkan keputusan Allah!

(59) 

Tahun 1933. 

Pada suatu kesempatan, aku mendengar suara ini di dalam jiwaku.

“Lakukanlah novena untuk tanah airmu. Novena ini hendaknya terdiri atas pendarasan Litani Orang Kudus. Mintalah izin kepada bapak pengakuanmu!”

Aku mendapat izin pada pengakuanku berikutnya dan aku memulai novena langsung pada petang itu.

(60) 

Menjelang akhir litani, aku melihat suatu sinar cemerlang dan di tengah-tengahnya, tampak Allah Bapa. Di antara bumi dan sinar cemerlang ini, aku melihat Yesus, terpaku pada salib sedemikian rupa sehingga kalau Allah ingin memandang bumi, Ia harus memandangnya melalui luka-luka Yesus. Dan aku mengerti bahwa demi Yesuslah Allah memberkati bumi.

(61) 

O Yesus, aku bersyukur kepada-Mu atas rahmat agung ini; yakni, bahwa Engkau sendiri telah berkenan memilih seorang bapak pengakuan bagiku, dan bahwa Engkau telah membuat aku mengenalnya melalui penglihatan, bahkan sebelum aku berjumpa dengannya. Ketika aku mengaku dosa pada Pastor Andrasz, aku berpikir bahwa aku akan dibebaskan dari kewajiban untuk mengikuti inspirasi-inspirasi batin ini. Pastor Andrasz menjawab bahwa ia tidak dapat membebaskan aku darinya,

“Tetapi Suster, berdoalah agar diberi seorang pembimbing rohani.”

Tidak lama sesudah suatu doa yang khusyuk, aku melihat Pastor Sopocko untuk kedua kalinya di dalam kapel kami, antara ruang pengakuan dan altar. Waktu itu, aku berada di Krakow. Dua penglihatan ini membesarkan semangatku, apalagi ketika aku berjumpa dengan dia persis seperti aku telah melihat dia dalam penglihatan-penglihatan, yang pertama di Warsawa waktu probasiku yang ketiga, dan yang kedua di Krakow. O Yesus, aku bersyukur kepada-Mu karena rahmat yang agung ini!

Sekarang, apabila kadang-kadang aku mendengar orang berkata bahwa mereka tidak memiliki bapak pengakuan, maksudnya seorang pembimbing rohani, ketakutan menguasai hatiku. Sebab aku tahu dengan sangat baik betapa besarnya kerugian yang harus kutanggung selama aku tidak memiliki bapak pengakuan. Begitu mudah orang tersesat apabila tidak memiliki seorang pembimbing!

(62) 

O Kehidupan yang monoton dan membosankan, betapa banyaknya harta yang kaumiliki! Apabila kau memperhatikan segala sesuatu dengan mata iman, tidak ada dua jam pun yang persis sama, dan monoton serta kebosanan itu pun menghilang. Rahmat yang diberikan kepadaku pada jam ini tidak akan terulang pada jam berikutnya. Bisa saja rahmat itu diberikan lagi kepadaku, tetapi kiranya itu bukan rahmat yang sama. Waktu terus berjalan, tidak pernah kembali lagi. Apa pun yang terkandung di dalamnya tidak pernah akan berubah; ia dimeteraikan dengan suatu meterai kekal.

(63) 

Pastor Sopocko pasti sangat dikasihi oleh Allah. Aku mengatakan hal ini karena aku sendiri telah mengalami betapa banyak Allah membela dia pada kesempatan-kesempatan tertentu. Ketika aku menyaksikan hal ini, aku sangat bersukacita bahwa Allah memiliki orang-orang pilihan seperti dia.

(64) 

Wisata ke Kalwaria. Tahun 1929. 

Aku tiba di Vilnius untuk selama dua bulan menggantikan seorang suster yang telah pergi untuk probasi ketiganya. Namun, aku tinggal lebih dari dua bulan. Pada suatu hari, Muder Superior karena ingin memberiku sedikit kesenangan, memberiku izin, bersama seorang suster lain, pergi ke Kalwaria untuk “napak tilas,” sebagaimana biasa mereka katakan. Saya sangat bersukacita. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu jauh, Muder Superior menghendaki agar kami pergi dengan kapal sungai. Petang itu Yesus berkata kepadaku,

“Aku menghendaki engkau tinggal di rumah!”

Aku menjawab,

“Yesus, segala sesuatu sudah disiapkan bagi kami untuk berangkat besok pagi; apa yang harus kulakukan sekarang?”

Tuhan menjawab,

“Perjalanan ini akan merugikan jiwamu.”

Aku menjawab kepada Yesus,

“Engkau dapat menemukan jalan keluar. Aturlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga kehendak-Mu akan terlaksana!”

Pada saat itu, terdengarlah bunyi bel tanda waktu untuk pergi tidur. Sekilas aku memandang Yesus, lalu pergi ke kamarku.

Keesokan harinya, cuaca sangat indah, dan rekan susterku penuh dengan sukacita membayangkan kenikmatan besar yang akan kami alami dalam menyaksikan segala pemandangan. Tetapi, aku yakin bahwa aku tidak akan pergi meskipun sejauh itu tidak ada halangan apa pun.

Kami harus menyambut komuni kudus lebih awal dan berangkat langsung sesudah doa syukur. Tetapi pada waktu komuni, mendadak cuaca berubah. Awan kelam menutupi langit, dan hujan turun dengan amat lebat. Setiap orang heran akan perubahan cuaca yang begitu mendadak.

Muder Superior berkata kepadaku,

“Suster-suster, saya sangat sedih bahwa kamu tidak dapat pergi!” Aku menjawab, “Muder, sungguh tidak masalah bahwa kami tidak dapat pergi; Allah menghendaki agar kami tetap di rumah.”

Tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa karena keinginan Yesus sendirilah aku harus tinggal di rumah. Aku mengisi seluruh hari itu untuk hening dan bermeditasi, sambil bersyukur kepada Tuhan karena telah menahan aku di rumah. Pada hari itu Allah memberi banyak penghiburan surgawi.

(65) 

Pada suatu waktu di masa novisiat ketika Muder Pembimbing menyuruhku bekerja di dapur, aku sangat binggung karena aku tidak biasa menangani panci-panci yang sangat besar. Tugas paling sulit bagiku adalah menuangkan air dari [panci berisi] kentang; kadang-kadang separo kentangnya tumpah. Ketika aku menyampaikan hal ini kepada Muder Pembimbing, ia berkata bahwa dengan berjalannya waktu aku akan menjadi biasa dengan pekerjaan itu dan memperoleh ketrampilan yang diperlukan. Tetapi, tugas itu tidak menjadi lebih mudah, sementara setiap hari kondisi tubuhku menjadi semakin lemah. Maka, aku selalu menghindar apabila tiba saatnya menuangkan air dari [panci berisi] kentang. Para suster memperhatikan bahwa aku menghindari tugas ini dan sangat heran. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak dapat menolong biarpun aku mengerahkan seluruh tenaga dan tidak peduli akan diriku sendiri. Pada tengah hari ketika berlangsung pemeriksaan batin, aku mengeluh kepada Allah mengenai kerapuhan tubuhku. Maka aku mendengar suara berikut di dalam jiwaku,

“Mulai hari ini, engkau akan melakukannya dengan mudah; Aku akan menguatkan engkau.”

Petang itu ketika tiba waktunya untuk menuangkan air dari [panci berisi] kentang, aku bergegas menjadi orang pertama yang melakukannya karena aku percaya akan kata-kata Tuhan. Aku mengangkat panci dengan mudah dan menuangkan air dengan sempurna. Tetapi ketika aku mengangkat tutupnya untuk membiarkan uap air kentang-kentang itu keluar, aku melihat dalam paci itu, bukan kentang melainkan suatu rangkaian penuh bunga mawar merah, indah tak terlukiskan. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti itu sebelumnya. Karena sangat heran dan tak mampu memahami makna semua ini, aku mendengar suara dalam hatiku yang berkata,

“Aku mengubah pekerjaan yang sedemikian berat bagimu menjadi buket-buket bunga yang amat indah, dan keharumannya naik ke takhta-Ku.”

Sejak itu, aku berusaha menuangkan air kentang sendiri, tidak hanya selama pekan aku mendapat giliran memasak tetapi juga untuk menggantikan suster-suster lain kalau tiba giliran mereka. Dan aku tidak hanya mampu melakukannya, tetapi aku berusaha menjadi orang pertama yang menolong dalam setiap tugas lain yang berat sebab aku telah mengalami betapa pekerjaan ini sangat berkenan di hati Allah.

(66) 

O harta yang tak kunjung habis, yakni kemurnian yang mendasari setiap intensi, yang membuat semua perbuatan menjadi sempurna dan berkenan di hati Allah!

O Yesus, Engkau tahu betapa rapuhlah aku; maka tinggallah selalu bersamaku; bimbinglah tingkah lakuku dan seluruh jalan hidupku. Engkau, ya Guruku yang paling baik! Yesus, aku sungguh ketakutan karena aku sadar akan kekuranganku, tetapi serentak hatiku menjadi tenang karena kerahiman-Mu yang tak terhingga, yang melampaui kekuranganku, seperti kebakaan melampaui segala kefanaan. Keterbukaan jiwa ini memenuhi hatiku dengan kekuatan-Mu. 

O sukacita yang mengalir dari pengenalan akan diri sendiri! 

O Kebenaran yang tidak berubah, Engkau bertahan selama-lamanya!

(67) 

Sekali peristiwa, sesudah kaul pertamaku, aku jatuh sakit. Ketika, kendati perawatan yang cermat dan saksama dari para superior serta usaha dokter, aku tidak merasa semakin baik atau semakin buruk, telingaku mulai mendengar suara yang menyimpulkan bahwa aku kurang percaya. Dengan itu, penderitaanku berlipat ganda, dan hal ini berlangsung agak lama. Pada suatu hari, aku mengeluh kepada Yesus bahwa aku menjadi beban bagi para suster. Yesus menjawabku,

“Engkau hidup bukan untuk dirimu sendiri tetapi untuk jiwa-jiwa, dan jiwa-jiwa lain akan mendapat pahala dari penderitaanmu. Penderitaanmu yang berkepanjangan akan memberi mereka terang serta kekuatan untuk menerima kehendak-Ku.”

(68) 

Penderitaan paling berat bagiku adalah perasaan bahwa, baik doa-doaku maupun perbuatan-perbuatan baikku tidak diperkenan oleh Allah. Aku tidak berani mengangkat mataku ke langit. Ini mengakibatkan dalam diriku penderitaan yang sedemikian berat waktu latihan rohani komunitas di kapel. Sesudah latihan rohani itu, Muder Superior memanggil dan berkata kepadaku,

“Suster, mintalah rahmat dan penghiburan dari Allah sebab aku dapat melihat sendiri, dan para suster terus menerus mengatakan kepadaku, bahwa pandangan matamu membangkitkan keprihatinan. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan denganmu, Suster. Aku memerintahkan kepadamu untuk berhenti menyiksa diri tanpa alasan.”

Tetapi, semua pembicaraan dengan Muder Superior ini tidak mendatangkan kelegaan dalam hatiku, juga tidak membuat suatu pun menjadi jelas bagiku. Sebaliknya, kegelapan yang bahkan lebih pekat menyembunyikan Allah dariku. Aku mencari pertolongan di kamar pengakuan, tetapi di sanapun aku tidak menemukannya. Seorang imam yang saleh ingin menolongku, tetapi aku begitu lemah sehingga aku bahkan tidak mampu menjelaskan penderitaanku, dan hal ini justru menjadi semakin menyiksa aku. Aku begitu sedih, seperti mau mati rasanya. Kesedihan itu meresapi jiwaku sedemikian rupa sehingga aku tidak mampu menyembunyikannya, dan semua orang yang ada di sekitar aku dapat melihatnya. Aku putus asa. Malam menjadi semakin gelap gulita. Imam yang mendengarkan pengakuanku berkata kepadaku,

“Aku melihat rahmat-rahmat yang sangat istimewa dalam dirimu, Suster, dan aku tidak mencemaskanmu sama sekali; mengapa engkau menyiksa diri seperti ini?”

Tetapi pada waktu itu, aku tidak paham sama sekali akan apa yang ia katakan dan aku luar biasa terkejut ketika, sebagai penitensi, aku disuruh melambungkan Te Deum atau Magnificat, atau berlari cepat keliling kebun pada petang hari, atau yang lain lagi untuk tertawa keras-keras sepuluh kali dalam sehari. Penitensi ini sangat mencengangkan aku; tetapi dengan itu pun imam itu tidak mampu memberikan banyak pertolongan kepadaku. Rupanya Allah menghendaki aku memuliakan Dia lewat penderitaan.

Imam itu menghibur aku dengan berkata bahwa dalam situasi sekarang aku lebih berkenan di hati Allah daripada kalau hatiku dipenuhi dengan penghiburan yang paling menggembirakan.

“Ini adalah rahmat yang paling besar, Suster,”

katanya kepadaku, 

“dalam keadaanmu yang sekarang, dengan segala siksaan jiwa yang Suster alami, engkau tidak hanya tidak melanggar perintah Allah, tetapi engkau bahkan berusaha mengamalkan keutamaan-keutamaan. Aku mencoba memandang ke dalam jiwa Suster, dan aku melihat rencana-rencana agung Allah serta rahmat istimewa ada di sana; dengan melihat itu, aku bersyukur kepada Tuhan.” 

Tetapi, kendati semua itu, jiwaku masih tetap tersiksa; dan di tengah siksaan yang tak terperikan itu, aku meniru orang buta yang mempercayakan diri kepada bimbingannya, sambil memegang tangannya erat-erat, tidak melepaskan kepatuhannya sedikit pun, dan inilah satu-satunya jaminan keamananku dalam menghadapi cobaan yang amat berat ini.

(69) 

O Yesus, Kebenaran yang kekal, kuatkanlah aku yang lemah ini. Engkau, ya Tuhan, dapat melakukan segala sesuatu! Aku tahu bahwa tanpa Engkau segala usahaku akan sia-sia. 

O Yesus, janganlah Engkau menyembunyikan diri terhadapku karena tanpa Engkau aku tidak dapat hidup. Dengarkanlah seruan jiwaku. Kerahiman-Mu tak berkesudahan, ya Tuhan; karena itu kasihanilah aku yang tak berdaya ini. Kerahiman-Mu melampaui pengertian pada malaikat dan manusia. Oleh karena itu, meskipun tampaknya Engkau tidak mendengarkan aku, namun aku berserah pada samudra kerahiman-Mu karena aku tahu bahwa harapanku tidak akan dikecewakan.

(70) 

Hanya Yesus yang mengetahui betapa berat dan sulit melaksanakan tugas-tugas apabila jiwa mengalami siksaan batin, kemampuan fisik sedemikian lemah, dan pikiran menjadi kabur. Dalam keheningan hatiku, aku mengulang-ulang doa ini,

“O Kristus, biarlah sukacita, hormat, dan kemuliaan menjadi milik-Mu, dan penderitaan menjadi milikku. Aku tidak akan ketinggalan satu langkah pun di belakang karena aku mengikuti Engkau, meskipun duri-duri melukai kakiku.”

(71) 

Aku dikirim ke rumah sakit di Plock untuk perawatan, dan di sana aku mendapat tugas istimewa untuk menghias kapel dengan bunga-bunga. Pernah terjadi di Biala, Suster Tekla tidak selalu mempunyai waktu untuk tugas ini maka sering kali aku menghias kapel sendirian. Pada suatu hari, aku memetik mawar-mawar yang paling indah untuk menghias ruang seseorang. Ketika aku mendekati serambi, aku melihat Yesus berdiri di sana. Dengan sangat ramah, Ia bertanya kepadaku,

“Putri-Ku, kepada siapa engkau membawa bunga-bunga itu ?”

Aku diam tidak dapat menjawab sebab seketika itu juga aku sadar bahwa aku telah memiliki keterikatan tertentu dengan orang ini, yang tidak kuperhatikan sebelumnya. Dan tiba-tiba Yesus menghilang. Seketika itu juga aku melemparkan bunga-bunga itu ke tanah dan aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus, hatiku dipenuhi rasa syukur karena rahmat kesadaran yang kuterima.

“O Matahari ilahi, dalam sinar-Mu jiwaku melihat debu yang paling kecil, yang tidak berkenan di Hati-Mu.”

(72) 

O Yesus, Kebenaran yang kekal, Kehidupan kami, aku berseru kepada-Mu dan aku memohon kerahiman-Mu bagi para pendosa yang malang. 

O Hati Tuhanku yang amat manis, yang penuh belas kasih dan kerahiman yang tak terhingga, di hadapa-Mu aku ingin membela orang-orang berdosa yang malang. 

O Hati yang mahakudus, Sumber kerahiman, dari-Mu memancar sinar rahmat yang tak terselami atas seluruh umat manusia. Aku memohon kepada-Mu terang bagi orang-orang berdosa yang malang. 

O Yesus, ingatlah akan Sengsara-Mu yang pedih itu, dan jangan biarkan musnah jiwa-jiwa yang sudah ditebus dengan harga yang sedemikian mahal, yakni Darah-Mu yang amat mulia. 

O Yesus, apabila aku ingat akan begitu besarnya nilai Darah-Mu, aku bersukacita akan kuasanya yang tak terbatas karena hanya satu tetes saja sudah cukup untuk menyelamatkan semua orang berdosa. Meskipun dosa itu laksana jurang kejahatan dan tidak tahu terima kasih, harga yang dibayar bagi kami tidak pernah akan tertandingi. Oleh karena itu, biarlah setiap jiwa berserah kepada Sengsara Tuhan dan menaruh harapan pada kerahiman-Nya. Allah tidak akan mengingkari kerahiman-Nya kepada siapa pun. Langit dan bumi boleh berubah, tetapi kerahiman Allah tidak pernah akan berkesudahan. 

O, betapa besarnya sukacita yang berkobar di dalam hatiku ketika aku memandang kebaikan-Mu yang tak terselami, ya Yesus! Aku rindu membawa semua orang berdosa kepada kaki-Mu agar mereka dapat memuliakan kerahiman-Mu sepanjang segala abad yang tidak akan berkesudahan.

(73) 

O Yesusku, kendati begitu gulita malam yang menyelimutiku dan kendati begitu gelap awan yang menyembunyikan cakrawala, aku tahu bahwa matahari tidak pernah akan tenggelam. 

O Tuhan, meskipun aku tidak dapat memahami Engkau dan tidak memahami cara Engkau berkarya, bagaimanapun aku mengandalkan kerahiman-Mu. Kalau memang sudah menjadi kehendak-Mu, Tuhan, bahwa aku selalu hidup dalam kegelapan yang sedemikian pekat, terpujilah Engkau. Hanya satu hal yang aku minta dari-Mu, ya Yesus: jangan biarkan aku menyakiti Engkau dengan cara apa pun. 

O Yesusku, hanya Engkaulah yang mengetahui kerinduan dan penderitaan hatiku. Aku bersukacita karena aku dapat menderita bagi-Mu, betapa pun kecilnya. Apabila aku merasa bahwa penderitaan itu lebih berat daripada yang dapat aku tanggung, aku akan bernaung kepada Tuhan dalam Sakramen Mahakudus, dan aku akan berbicara dengan-Nya dengan keheningan yang mendalam.

(74) 

Pengakuan Dosa Seorang Anak Asrama

Pada suatu hari, aku merasa terdorong oleh suatu kuasa supaya aku mengusahakan Pesta Kerahiman dan supaya gambar Yesus yang maharahim dilukis. Hatiku sangat gelisah. Sesuatu sedang bergejolak dalam diriku, tetapi aku takut diperdayakan. Keragu-raguan ini lebih disebabkan oleh unsur-unsur dari luar sebab di dalam lubuk jiwaku sendiri aku merasa bahwa Tuhanlah yang meresapi diriku. Imam yang mendengarkan pengakuan dosaku waktu itu mengatakan bahwa sering kali orang mengalami ilusi-ilusi, dan aku merasa bahwa ia agak takut mendengarkan pengakuanku. Aku sungguh merasa tersiksa. Menyadari bahwa sangat sedikitlah pertolongan yang kudapatkan dari manusia, aku berpaling sepenuhnya kepada Yesus, Guru yang terbaik di antara semua guru. Pada waktu itu, aku dipenuhi dengan keragu-raguan apakah suara yang kudengar itu berasal dari Tuhan atau bukan. Maka mulai berbicara kepada Yesus dalam hati tanpa mengucapkan satu kata pun. Tiba-tiba suatu kekuatan batin mencekam aku dan aku berkata, 

“Jikalau Engkau, yang bersatu denganku dan berbicara kepadaku, sungguh Allahku, aku minta kepada-Mu, o Tuhan, agar hari ini juga anak asrama itu pergi mengaku dosa; tanda ini akan menyakinkan hatiku.” 

Pada saat itu juga, gadis itu minta untuk pergi ke pengakuan dosa.

(75) 

Ibu guru yang mengajar di kelas itu sangat heran akan perubahan mendadak dalam diri anak itu, tetapi ia segera berusaha memanggil seorang imam, dan anak itu melakukan pengakuan dosa dengan penyesalan yang luar biasa. Pada saat yang sama, aku mendengar suatu suara dalam hatiku berkata,

“Apakah sekarang engkau percaya kepada-Ku?”

Dan sekali lagi, suatu kekuatan yang aneh menyusup ke dalam jiwaku, menguatkan dan menyakinkan aku sedemikian rupa sehingga aku sendiri sangat heran bahwa aku membiarkan diriku menjadi ragu-ragu meskipun hanya untuk sesaat. Tetapi keragu-raguan ini selalu disebabkan oleh unsur-unsur dari luar. Kenyataan ini membuat aku cenderung untuk semakin hari semakin menutup diri. Jika pada suatu hari, sementara mengaku dosa, aku merasakan adanya kegelisahan di pihak imam, aku tidak membuka jiwaku sampai sedalam-dalamnya, tetapi hanya mengakukan dosa-dosaku. Seorang imam yang tidak tenang hatinya tidak akan mampu menumbuhkan ketenangan dalam jiwa orang lain.

Oh para imam, kamu adalah lilin-lilin bernyala yang menerangi jiwa manusia, biarlah terangmu tidak pernah pudar. Aku memahami bahwa kadang-kadang bukanlah kehendak Allah bahwa aku membuka jiwaku sepenuhnya. Tetapi kemudian, Allah sungguh memberiku rahmat keterbukaan ini.

(76) 

Oh Yesusku, arahkanlah budiku, milikilah seluruh diriku, rengkuhlah aku di dalam lubuk Hati-Mu, dan lindungilah aku terhadap serangan-serangan musuh. Hanya Engkaulah harapanku. Berbicaralah lewat mulutku apabila aku akan di tengah orang berkuasa dan terpelajar, aku yang hina dina ini supaya mereka tahu bahwa karya ini adalah karya-Mu dan bahwa karya ini datang dari pada-Mu.

(77) 

Kegelapan dan Pencobaan

Secara aneh, akalku menjadi gelap; tidak ada kebenaran yang tampak jelas bagiku. Ketika orang berbicara kepadaku tentang Allah, hatiku menjadi keras seperti batu karang. Dari pembicaraan itu, aku tidak memetik setitik perasaan cinta pun akan Dia. Ketika dengan kamuan yang keras, aku mencoba untuk tinggal dekat dengan Allah, aku mengalami siksaan-siksaan yang berat, dan tampak padaku bahwa aku hanya semakin membangkitkan murka Allah. Sama sekali mustahil bagiku untuk bermeditasi seperti yang biasa kulakukan di hari-hari sebelumnya. Aku merasa dalam jiwaku ada suatu kekosongan, dan tidak ada sesuatu yang dapat kuisikan ke dalamnya. Aku mulai menderita rasa lapar yang luar biasa, dan aku sangat merindukan Allah, tetapi aku merasakan diriku sama sekali tidak berdaya. Aku mencoba membaca dengan lambat, kalimat demi kalimat, dan dengan cara itu melaksanakan renungan, tetapi ini pun tidak ada hasilnya. Aku sama sekali tidak paham akan apa yang aku baca.

Jurang kepapaanku terus membentang di hadapan mataku. Setiap kali aku masuk ke kapel untuk melaksanakan suatu latihan rohani, aku selalu mengalami siksaan dan pencobaan-pencobaan yang lebih menyakitkan. Lebih dari kapan pun, sepanjang misa kudus, aku berjuang melawan pikiran-pikiran menghujat yang memaksakan diri kepada bibirku. Aku merasa sangat tidak senang dengan sakramen-sakramen kudus, dan tampak padaku bahwa aku tidak memetik manfaat sedikit pun dari semua itu. Hanya karena ketaatan kepada bapak pengakuan, aku melaksanakannya. Dan, hanya ketaatan buta inilah satu-satunya jalan yang dapat aku ikuti dan menjadi harapan terakhir untuk tetap bertahan. Imam menjelaskan kepadaku bahwa inilah cobaan-cobaan yang dikirim Allah dan bahwa dalam situasi yang kualami ini, bukan hanya aku tidak melawan Allah, tetapi aku sangat berkenan di hati-Nya.

“Ini adalah suatu tanda,”

katanya kepadaku,

“bahwa Allah sangat mengasihi engkau dan bahwa Ia memiliki kepercayaan yang sangat besar kepadamu karena Ia berkenan memberikan cobaan-cobaan yang sedemikian kepadamu.”

Tetapi kata-kata ini tidak memberikan penghiburan kepadaku; aku merasa bahwa semua itu sama sekali tidak dapat diterapkan kepadaku.

Satu hal sungguh mengherankan bagiku: sering kali terjadi bahwa, pada saat aku sangat menderita, siksaan-siksaan yang mengerikan ini tiba-tiba lenyap tepat pada saat aku menghampiri kamar pengakuan; tetapi begitu aku meninggalkan kamar pengakuan, semua siksaan itu akan kembali mencekam aku bahkan dengan lebih hebat. Maka aku lalu sujud di hadapan Sakramen Mahakudus sambil mengulang-ulang kata-kata ini,

“Bahkan kalaupun Engkau membunuh aku, aku akan tetap berharap kepada-Mu!”

Rasanya aku akan mati dalam sakratulmaut seperti ini. Tetapi, gagasan yang paling mengerikan bagiku adalah keyakinan bahwa aku telah ditolak oleh Allah. Kemudian pikiran-pikiran lain muncul dalam hatiku:

Mengapa aku harus bersusah payah mengejar keutamaan dan melakukan perbuatan-perbuatan baik?
Mengapa aku harus mati raga dan menghampakan diri? 
Apa manfaatnya aku mengikrarkan kaul? 
Berdoa? 
Menderita dan mengurbankan diri? 
Mengapa aku harus mengurbankan diri terus-menerus? 
Apa manfaatnya - kalau aku sudah ditolak oleh Allah? 

Mengapa aku harus melakukan semua usaha ini?

Dan di sini, Allah sendiri tahu apa yang sedang bergolak di dalam hatiku.

(78) 

Sekali peristiwa ketika sedang ditimpa penderitaan-penderitaan yang menakutkan, aku pergi ke kapel dan berkata dari dasar jiwaku,

“Lakukanlah apa yang ingin Kaulakukan terhadapku, oh Yesus; aku akan menyembah Engkau dalam segala sesuatu. Biarlah kehendak-Mu terlaksana dalam diriku, oh Tuhanku dan Allahku, dan aku akan memuji kerahiman-Mu yang tak terbatas.”

Lewat doa penyerahan ini, siksaan-siksaan yang mengerikan itu lenyap dari aku. Tiba-tiba aku melihat Yesus, yang berkata kepadaku,

“Aku selalu berada di dalam hatimu!”

Suatu sukacita yang tak terperikan memenuhi jiwaku, dan cinta Allah yang agung membuat hatiku yang papa bernyala-nyala. Aku melihat bahwa Allah tidak pernah mencobai melebihi apa yang dapat ditanggung. Oh, tidak ada suatu pun yang aku takutkan; kalau Allah mengirim penderitaan yang sedemikian berat kepada suatu jiwa, Ia pasti menguatkan jiwa itu dengan rahmat yang bahkan lebih besar, meskipun kita tidak menyadarinya. Pada saat-saat seperti itu, suatu doa penyerahan memberikan kemuliaan yang lebih besar kepada Allah daripada banyak jam doa yang penuh dengan penghiburan. Kini aku tahu bahwa kalau Allah menghendaki suatu jiwa tetap berada dalam kegelapan, tidak ada buku, dan tidak ada bapak pengakuan yang dapat membawa terang kepadanya.

(79) 

O, Maria, Bundaku dan Ratuku, aku mempersembahkan kepadamu jiwa dan ragaku, hidup dan matiku dan semua yang akan terjadi sesudah kematianku. Ke dalam tanganmu aku menyerahkan semuanya. 

O Bundaku, naungilah jiwaku dengan mantol sucimu dan mohonlah bagiku rahmat kesucian hati, jiwa dan raga. Dengan kekuatanmu, lindungilah aku dari semua musuh, khususnya terhadap mereka yang menyembunyikan kejahatan mereka di balik topeng keutamaan. 

O Bakung nan indah! 

O Bundaku, bagiku engkau adalah suatu cermin.

(80) 

O Yesus, Tawanan Kasih, apabila aku mengingat-ingat cinta-Mu dan bagaimana Engkau menghampakan diri-Mu demi aku, aku sungguh merasa tidak berarti. Engkau menyembunyikan kebesaran-Mu yang tak terperikan dan merendahkan diri-Mu menjadi setaraf dengan aku yang hina ini. 

O Raja Kemuliaan, meskipun Engkau menyembunyikan keagungan-Mu, mata jiwaku menembus setiap selubung. Aku melihat paduan suara para malaikat yang tanpa henti melambungkan puji-pujian kepada-Mu, dan aku melihat semua Kuasa Surgawi yang tanpa henti memuji Engkau, dan tanpa henti berkata:

Kudus, Kudus, Kudus.

Oh, siapa yang mampu memahami cinta-Mu dan kerahiman-Mu yang tak terperikan terhadap kami! 

O Tawanan Kasih, aku menurung hatiku yang hina ini di dalam tabernakel ini agar ia menyembah Engkau siang dan malam tanpa henti. Aku tidak mengalami rintangan apa pun dalam sembah sujud ini, dan meskipun secara ragawi aku jauh, hatiku selalu tinggal bersama Engkau. Tidak ada suatu pun yang dapat menghentikan cintaku kepada-Mu. Tidak ada rintangan yang menghalangi aku. 

O Yesusku, aku akan menghibur-Mu atas segala sikap tidak tahu terima kasih, hujat, kebekuan hati, kebencian orang-orang tidak beriman, dan sakrilegi. 

O Yesus, aku ingin dibakar sebagai kurban yang murni, yang dibakar habis di hadapan takhta ketersembunyian-Mu. Tak henti-henti aku memohon kerahiman-Mu bagi orang-orang berdosa yang sedang menghadapi ajal.

(81) 

O Tritunggal Kudus, Allah yang Esa dan Takterbagi, terpujilah Engkau karena anugerah yang agung dan wasiat kerahiman-Mu ini. Yesusku, sebagai olah penyilihan bagi para penghujat aku akan tetap diam kalau aku diperlakukan secara tidak adil, dan dengan cara ini aku ambil bagian dalam penderitaan-Mu. Dalam jiwa, aku melagukan suatu madah tanpa henti bagi-Mu, dan tak seorang pun akan menduga atau memahaminya. 

O Pencipta dan Tuhanku, hanya Engkau sendirilah yang mengetahui nyanyian jiwaku.

(82) 

Aku tidak akan membiarkan diriku diserap oleh kesibukan kerja sampai melupakan Allah. Aku akan menggunakan semua waktu luangku di kaki Sang Guru yang tersembunyi di dalam Sakramen Mahakudus. Ia telah menuntun aku sejak tahun-tahunku yang paling muda.

(83) 

“Tulislah ini: sebelum Aku datang sebagai Hakim yang adil, Aku akan datang lebih dulu sebagai Raja Kerahiman. Sebelum hari penghakiman tiba, akan diberikan tanda kepada umat manusia di langit sebagai berikut: Semua penerang di langit akan padam, dan akan ada kegelapan yang pekat di seluruh bumi. Kemudian tanda salib akan terlihat di langit, dan dari Luka-luka di mana tangan dan kaki Juru Selamat dipaku [akan] memancar cahaya terang benderang yang akan menyinari bumi selama waktu tertentu. Ini akan terjadi tidak lama sebelum hari terakhir.”

(84) 

O Darah dan Air yang memancar dari Hati Yesus sebagai mata air kerahiman bagi kami, Engkau andalanku!

(85) 

Vilnius, 2 Agustus 1934.

Pada hari Jumat, sesudah komuni kudus, dalam roh aku dibawa ke hadapan takhta Allah. Di sana, aku melihat bala surga yang tak henti-hentinya memuji Allah. Di belakang takhta itu, aku melihat cahaya terang benderang yang tidak dapat dihampiri oleh makhluk apa pun, dan yang ada di sana hanyalah Sabda Yang Menjelma yang masuk sebagai Pengantara. Ketika Yesus memasuki terang itu, aku mendengar suara ini,

“Tulislah segera apa yang engkau dengar: Aku adalah Tuhan sedari kodrat-Ku dan Aku bebas dari semua perintah atau kebutuhan. Kalau Aku menciptakan makhluk - semuanya muncul dari lubuk kerahiman-Ku.”

Dan pada saat itu juga aku mendapati diriku, seperti sebelumnya, sedang berada di dalam kapel berlutut di bangku, tepat pada waktu misa berakhir. Aku melihat semua perkataan itu sudah tertulis.

(86) 

[Sekali peristiwa] aku menyaksikan betapa bapak pengakuanku sangat menderita karena karya ini yang akan segera dilakukan Allah lewat dia. Ketika aku menyaksikan hal itu, ketakutan mencekam aku sejenak, dan aku berkata kepada Tuhan,

“Yesus, ini adalah urusan-Mu! Mengapa Engkau berlaku demikian terhadap dia? Aku merasa bahwa Engkau menciptakan kesulitan-kesulitan baginya sedangkan pada saat yang sama Engkau menyuruh dia berbuat sesuatu.”

“Tulislah bahwa siang dan malam tatapan mata-Ku tertuju kepadanya, dan Aku mengizinkan semua penderitaan ini untuk meningkatkan pahalanya. Bukan buah-buah yang baik yang Kuberi ganjaran, tetapi kesabaran dan ketabahan untuk menderita demi Aku.”

(87) 

Vilnius, 26 Oktober 1934.

Pada hari Jumat, pada pukul enam kurang sepuluh menit, aku dan beberapa anak asrama berjalan dari taman ke ruang makan untuk makan malam. Ketika itu, aku melihat Tuhan Yesus di atas kapel kami. Ia memandang aku persis seperti ketika untuk pertama kalinya aku melihat Dia dan persis seperti Ia dilukis di dalam gambar. Kedua sinar yang memancar dari Hati Yesus itu menyinari kapel kami, balai kesehatan, dan kemudian seluruh kota, dan meluas ke seluruh dunia. Penglihatan ini berlangsung sekitar empat menit, lalu lenyap. Salah satu dari anak-anak [perempuan] itu, yang jalan bersamaku sedikit di belakang yang lain, juga melihat sinar itu, tetapi ia tidak melihat Yesus, dan ia tidak tahu dari mana sinar itu berasal. Dengan berapi-api, ia bercerita kepada anak-anak yang lain. Mereka mulai menertawakannya, dan mengatakan bahwa ia sedang berkhayal, atau barangkali itu adalah sinar yang dipancarkan oleh pesawat terbang yang sedang melintas. Tetapi, ia tetap bersikukuh pada keyakinannya, sambil berkata bahwa belum pernah ia melihat sinar seperti itu sebelumnya. Ketika anak-anak lain berkata bahwa barangkali itu suatu lampu sorot, ia menjawab bahwa ia tahu betul apa itu lampu sorot, tetapi belum pernah ia melihat sinar seperti ini.

Sesudah makan malam, anak itu menghampiriku dan berkata kepadaku bahwa ia sedemikian terharu dengan sinar-sinar itu sehingga ia tidak dapat tinggal diam, tetapi ingin menceritakannya kepada setiap orang. Tetapi, ia tidak melihat Yesus. Berulang kali ia bercerita kepadaku tentang sinar-sinar itu, dan ini memojokkan aku ke dalam situasi yang canggung sebab aku tidak dapat mengatakan kepadanya bahwa aku telah melihat Tuhan Yesus. Aku berdoa baginya, dan minta kepada Tuhan untuk memberinya rahmat yang ia sangat perlukan. Hatiku bersukacita karena ternyata Yesus mengambil prakarsa untuk memperkenalkan diri-Nya melalui karya-Nya meskipun aku sangat disakiti karena kejadian itu. Tetapi, demi Yesus, segala sesuatu dapat ditanggung.

(88) 

Selama adorasi, aku merasakan Allah begitu dekat denganku. Sesaat kemudian, aku melihat Yesus dan Maria. Pada waktu melihat mereka, hatiku dipenuhi sukacita, dan aku bertanya kepada Tuhan,

“Yesus, apa yang Engkau kehendaki sehubungan dengan masalah yang diminta bapak pengakuanku untuk kutanyakan kepada-Mu?”

Yesus menjawab,

“Aku menghendaki agar ia tetap tinggal di sini dan agar ia tidak mengambil prakarsa untuk membebaskan diri.”

Aku bertanya kepada Yesus apakah tulisan yang harus dipasang dapat berbunyi:

Kristus Raja Kerahiman.

Ia menjawab,

“Aku Raja Kerahiman,”

tetapi tidak menyebut kata ‘Kristus’.

“Aku ingin bahwa gambar ini dipajang di depan umum pada Minggu pertama sesudah Paskah. Minggu itu adalah Pesta Kerahiman. Lewat Sang Sabda yang menjelma. Aku memperkenalkan lubuk Kerahiman-Ku yang tanpa batas.”

(89) 

Aneh, semua hal terjadi persis seperti yang diminta Tuhan. Sungguh, pada Minggu pertama sesudah Paskah, gambar itu dihormati secara umum oleh himpunan umat untuk pertama kalinya. Selama tiga hari, gambar itu dipajang dan mendapat penghormatan publik. Karena dipasang tepat pada puncak jendela di Ostra Brama, gambar itu dapat dilihat dari jauh. Selama tiga hari ini, di Ostra Brama dirayakan penutupan Tahun Yubileum Penebusan Dunia, yang menandai seribu sembilan ratus tahun yang telah berlalu sejak Sengsara Juru Selamat. Kini aku melihat bahwa karya penebusan terikat erat dengan karya kerahiman yang diminta oleh Tuhan.

(90) 

Pada suatu hari, dengan mata batinku aku melihat betapa banyaknya bapak pengakuanku harus menderita. Engkau akan ditinggalkan oleh teman-temanmu, setiap orang akan bangkit melawan engkau, dan kekuatan fisikmu akan menurun. Aku melihat engkau seperti seuntai buah anggur yang dipilih Tuhan dan diperas dalam penderitaan. Jiwamu, ya bapak, kadang-kadang akan dirundung keragu-raguan tentang karya ini dan tentang aku.

Aku melihat bahwa Allah sendiri terasa melawan engkau, dan aku bertanya kepada Tuhan mengapa Ia berbuat demikian terhadapnya, seolah-olah Ia merintangi apa yang diminta-Nya agar dilaksanakan. Dan Tuhan berkata,

“Aku bertindak demikian terhadap dia untuk memberikan kesaksian bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan-Ku. Katakan kepadanya janganlah ia takut apa pun; siang dan malam tatapan mata-Ku selalu tertuju kepadanya. Akan ada banyak mahkota yang akan ia terima sebab karya ini akan menyelamatkan banyak jiwa. Bukan berhasilnya suatu pekerjaan yang Kuberi ganjaran, tetapi penderitaan yang ditanggung demi pekerjaan itu.”

(91) 

O Yesusku, hanya Engkaulah yang mengetahui penganiayaan yang kuderita, dan semua ini aku tanggung hanya karena aku setia kepada-Mu dan mengikut perintah-perintah-Mu. Engkaulah kekuatanku; topanglah aku supaya aku selalu dapat melaksanakan apa yang Kauminta dari aku. Dari diriku sendiri aku tidak dapat melakukan suatu pun, tetapi apabila Engkau menopang aku, semua kesulitan tidak ada artinya bagiku, o Tuhanku, aku dapat melihat dengan amat baik bahwa sejak pertama kali jiwaku menerima kemampuan untuk mengenal Engkau, hidupku menjadi pergulatan tanpa henti yang semakin hari menjadi semakin sengit. Setiap pagi dalam meditasi, aku menyiapakn diri untuk perjuangan sepanjang hari. Komuni kudus menyakin aku bahwa aku akan memperoleh kemenangan; dan memang demikian. Aku khawatir akan tiba suatu hari di mana aku tidak dapat menerima komuni kudus. Roti dari Dia Yang Kuat ini memberiku seluruh kekuatan yang kubutuhkan untuk melaksanakan misiku dan memberikan keberanian untuk melaksanakan apa pun yang diminta Tuhan dariku. Keberanian dan kekuatan yang ada dalam diriku bukan berasal dari diriku, tetapi dari Dia yang hidup di dalam diriku - itulah Ekaristi.

O Yesusku, kesalahpahaman orang sedemikian besar; kadang-kadang, seandainya tak ada Ekaristi, aku tidak akan berani melangkah lebih jauh meniti jalan yang sudah Kautunjukkan kepadaku.

(92) 

Penghinaan adalah makanan sehari-hari bagiku. Aku tahu bahwa mempelai perempuan sendiri harus ambil bagian dalam semua yang dialami oleh Mempelainya’ jadi, matol yang dikenakan pada-Nya sekadar sebagai olok-olok juga harus menyelubungi tubuhku. Pada saat-saat seperti itu, kalau aku sangat menderita, aku berusaha tetap tinggal diam sebab aku tidak mempercayai lidahku yang, pada saat-saat seperti itu, cenderung untuk berbicara tentang dirinya sendiri, padahal tugasnya adalah untuk membantu aku memuji Allah atas segala berkat dan karunia yang telah Ia berikan kepadaku. Apabila aku menerima Yesus dalam komuni kudus, aku minta kepada-Nya dengan khusyuk agar Ia berkenan menyembuhkan lidahku supaya dengan lidahku aku tidak melukai entah Allah entah sesamaku. Aku menghendaki lidahku memuji Allah tanpa henti. Besarlah kesalahan yang dilakukan oleh lidah. Jiwa tidak akan mencapai kekudusan kalau ia tidak terus mengawasi lidahnya.

(93) 

Ringkasan Katekismus tentang Kaul Membiara

T: Apa itu kaul?

J: Kaul adalah janji sukarela kepada Allah, untuk melaksanakan suatu tindakan yang lebih sempurna.

T: Apakah kaul mengikat dalam hal yang sudah ditentukan oleh peraturan?

J: Ya. Melaksanakan tindakan yang ditentukan oleh suatu peraturan memiliki nilai dan pahala ganda; sebaliknya, mengabaikan tindakan seperti itu merupakan pelanggaran dan kejahatan ganda sebab dengan melanggar kaul, dosa melawan perintah bertambah dengan dosa sakrilegi.

T: Mengapa kaul-kaul religius memiliki nilai demikian tinggi?

J: Karena kaul-kaul itu merupakan dasar hidup membiara yang disahkan oleh Gereja, di mana para anggota yang terhimpun dalam suatu komunitas religius memutuskan untuk memperjuangkan kesempurnaan lewat sarana-sarana ketiga kaul religius yakni kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan yang diamalkan sesuai dengan peraturan.

T: Apa arti kata-kata “memperjuangkan kesempurnaan?”

J: Memperjuangkan kesempurnaan berarti bahwa hidup membiara pada dasarnya tidak menuntut adanya kesempurnaan yang sudah dicapai, tetapi mewajibkan, dengan saksi dosa, untuk setiap hari bekerja demi mencapainya. Oleh karena itu, seorang anggota biara yang tidak ingin menjadi sempurna mengabaikan tugas utamanya.

T: Apa yang dimaksud dengan kaul religius “meriah?”

J: Kaul religius “meriah” adalah kaul yang sedemikian mutlak sehingga, dalam kasus-kasus luar biasa, hanya Bapa Suci yang dapat melepaskannya.

T: Apa yang dimaksud dengan kaul religius sederhana?

J: Kaul religius sederhana adalah kaul yang tidak mutlak - Takhta Suci dapat membebaskan orang dari kaul kekal dan kaul sementara.

T: Apakah perbedaan antara kaul dan keutamaan?

J: Kaul hanya terikat pada hal-hal yang diperintahkan, dengan sanksi dosa; keutamaan tidak terbatas pada hal-hal yang diperintahkan dan membantu mengamalkan kaul; tetapi, di lain pihak, dengan melanggar kaul orang gagal melakukan keutamaan, bahkan merusakkannya.

T: Kaul religius mewajibkan apa?

J: Kaul religius mewajibkan manusia berusaha mencapai keutamaan dan menundukkan diri sepenuhnya kepada pimpinan serta peraturan yang berlaku; dengan demikian biarawan/wati menyerahkan dirinya sendiri kepada komunitas, dengan melepaskan setiap hak atas dirinya sendiri dan atas tindakan-tindakannya; semua itu ia kurbankan untuk melayani Allah.

Kaul Kemiskinan

Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukarela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan hati Allah.

T: Barang apa saja yang tercakup dalam kaul kemiskinan?

J: Semua harta milik dan barang-barang yang menjadi milik Kongregasi. Manusia tidak lagi memiliki hak atas apa saja yang diberikan kepadanya, entah barang entah uang. Semua derma dan hadiah, yang barangkali diberikan kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atau ungkapan lain apa pun, menjadi hak Kongregasi. Manusia tidak dapat menyelahgunakan, tanpa melanggar kaul, pendapatan apa pun yang diterima dari pekerjaan, atau bahkan tunjangan hidup yang diterima.

T: Kapan terjadi pelanggaran kaul dalam hal yang berkaitan dengan perintah ketujuh?

J: Kaul dilanggar kalau, tanpa izin, diambil apa saja yang menjadi miliki komunitas untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain; kalau, tanpa izin, ditahan sesuatu untuk memilikinya; dan kalau, di luar wewenang, dijual atau ditukar sesuatu yang menjadi milik komunitas; kalau digunakan suatu barang untuk maksud lain di luar yang ditentukan oleh pimpinan; kalau diberi, atau menerima dari orang lain, suatu apa pun tanpa izin; kalau karena lalai dirusakkan atau menghancurkan sesuatu; kalau waktu pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dibawa sesuatu tanpa izin. Dalam suatu situasi di mana kaul dilanggar, biarawan/wati harus memberikan ganti rugi kepada komunitas.

Keutamaan Kemiskinan

Keutamaan kemiskinan adalah keutamaan injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana; karena kaulnya, biarawan/wati terikat oleh kewajiban ini.

T: Kapan manusia berdosa melawan keutamaan kemiskinan?

J: Ketika menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan keutamaan ini; ketika ia menjadi terikat pada sesuatu, dan ketika menggunakan barang-barang secara berlebihan.

T: Ada berapa tingkat keutamaan kemiskinan, dan apa saja?

J: Praktis, ada empat tingkat keutamaan kemiskinan bagi orang yang mengikrarkan kaul religius: tidak memberikan suatu pun tanpa persetujuan pimpinan (tuntutan ketat dari kaul); menghindari pemakaian barang secara berlebihan dan puas dengan barang-barang seperlunya (ini tuntutan keutamaan); ikhlas menggunakan barang-barang dengan mutu yang lebih rendah dalam kaitan dengan kamar, pakaian, makanan, dan lain-lain, dan secara batin merasa puas dengan semua ini; bersukacita dalam kemiskinan yang luar biasa.

Kaul Kemurnian

T: Kaul kemurnian mewajibkan apa?

J: Kaul kemurnian menwajibkan kita melepaskan perkawinan dan menghindari segala sesuatu yang dilarang oleh perintah keenam dan kesembilan.

T: Apakah pelanggaran kaul kemurnian merupakan kesalahan melawan keutamaan kemurnian?

J: Setiap kesalahan melawan keutamaan kemurnian juga merupakan pelanggaran terhadap kaul kemurnian sebab di sini tidak ada perbedaan antara kaul kemurnian dan keutamaan kemurnian, tidak seperti dalam kaul kemiskinan dan kaul ketaatan.

T: Apakah setiap pikiran jahat itu dosa?

J: Bukan, tidak setiap pikiran jahat itu dosa; ia menjadi dosa hanya kalau ada persetujuan dari kehendak yang dipadukan dengan pertimbangan budi.

T: Selain dosa-dosa melawan kemurnian, apakah ada sesuatu yang merugikan keutamaan kemurnian?

J: Ada, yakni sikap kurang menjaga indra, khayalan, perasaan; keakraban dan persahabatan yang sentimental juga dapat merugikan keutamaan kemurnian.

T: Apakah sarana-sarana yang dapat menunjang pengamalan keutamaan kemurnian?

J: Mengalahkan godaan-godaan batin dengan memikirkan kehadiran Allah, dan lebih-lebih berjuang tanpa takut. Untuk godaan-godaan lahiriah, sarananya adalah menghindari peluang-peluang yang ada. Seluruhnya, ada tujuh sarana utama: menjaga indra, menghindari peluang dosa, menghindari kemalasan, mengenyahkan godaan secara langsung, menjauhkan diri dari semua persahabatan - terutama persahabatan yang bersifat khusus, bersemangat mat-raga, dan mengungkapkan semua godaan kepada bapak pengakuan.

Di samping itu, ada lima sarana untuk mempertahankan keutamaan kemurnian: kerendahan hati, semangat doa, pengendalian mata, kesetiaan kepada aturan devosi yang tulus kepada Santa Perawan Maria.

Kaul Ketaatan

Kaul ketaatan lebih tinggi daripada dua kaul yang pertama. Sungguh kaul ketaatan adalah suatu kurban, dan ia lebih penting karena ia membangun dan menjiwai tubuh religius.

T: Kaul ketaatan mewajibkan apa?

J: Dengan kaul ketaatan biarawan/wati berjanji kepada Allah untuk taat kepada para pimpinan yang sah dalam segala sesuatu yang mereka perintahkan demi peraturan. Kaul ketaatan membuat biarawan/wati bergantung kepada pimpinan atas dasar peraturan-peraturan sepanjang hayatnya dan dalam segala urusannya. Seorang biarawan/wati berdoa berat melawan kaul ketaatan setiap kali ia tidak taat kepada peraturan yang diberikan atas dasar ketaatan dan peraturan-peraturan.

Keutamaan Ketaatan

Keutamaan ketaatan lebih luas daripada kaul ketaatan; keutamaan ini mencakup ketentuan dan peraturan dan bahkan nasihat-nasihat para pimpinan.

T: Apakah keutamaan ketaatan diperlukan oleh seorang biarawan/wati?

J: Keutamaan ketaatan sangat diperlukan oleh seorang biarawan/wati sehingga, kalau ia melakukan perbuatan-perbuatan baik yang bertentangan dengan ketaatan, perbuatan itu menjadi tidak baik dan tidak ada pahalanya.

T: Dapatkah manusia berdosa berat melawan keutamaan ketaatan?

J: Manusia berdosa berat melawan keutamaan ketaatan kalau ia melecehkan pimpinan atau perintah pimpinan, atau kalau ketidaktaatan mengakibatkan kerugian rohani atau jasmani kepada komunitas.

T: Kesalahan-kesalahan apa yang membahayakan kaul ketaatan?

J: Curiga terhadap pimpinan atau menyembunyikan rasa antipati terhadapnya - menggerutu dan mengecam, malas dan lalai.

Tingkat-tingkat Ketaatan

Memenuhi perintah dengan tulus dan sempurna - ini disebut ketaatan kehendak kalau kehendak mendorong budi untuk tunduk kepada nasihat pimpinan. Sehubungan dengan ini, untuk menunjang ketaatan, Santo Ignatius menganjurkan tiga sarana:

  1. selalu melihat Allah dalam diri pimpinan, siapa pun dia; 
  2.  membenarkan perintah atau nasihat pimpinan;
  3. menerima setiap perintah sebagai perintah dari Allah, tanpa mempertanyakannya atau menimbang-nimbangnya.

Saran umum: kerendahan hati. Tidak ada sesuatu yang sulit bagi orang yang rendah hati.

(94) 

O Tuhanku, nyalakanlah hatiku dengan cinta-Mu, supaya semangatku tidak menjadi lunglai di tengah badai, penderitaan dan pencobaan. Engkau tahu betapa lemahnya aku. Cinta dapat mengerjakan segalanya.

(95) 

Pengetahuan yang lebih mendalam tentang Allah dan rasa kaget jiwa:

Pada awal mula, Allah membiarkan diri-Nya dikenal sebagai Sang Kekudusan, Keadilan, dan Kebaikan - singkatnya: Sang Kerahiman. Jiwa tidak berusaha mengenal semua ini sekaligus, tetapi satu demi satu, dan hanya sepintas; yakni ketika Allah datang mendekat. Dan, ini tidak berlangsung lama sebab jiwa tidak akan tahan menatap cahaya yang sedemikian terang. Sementara berdoa, jiwa mengalami percikan-percikan cahaya; dan percikan-percikan itu membuat dia tidak mungkin lagi berdoa hanya seperti sebelumnya. Kalaupun ia berusaha memaksa diri untuk berdoa seperti sebelumnya, semua sia-sia; sama sekali mustahil bagi dia untuk terus berdoa seperti sebelum ia menerima terang ini. Terang yang menyentuh jiwa ini hidup di dalam dia, dan tidak ada suatu pun yang dapat entah memadamkan entah meredupkannya. Percikan pengetahuan tentang Allah ini memikat jiwa dan menyalakan cintanya akan Allah.

Tetapi pada saat yang sama, percikan ini memungkinkan jiwa mengenal diri sebagaimana adanya; jiwa melihat seluruh batinnya dalam suatu terang ilahi, dan ia terkejut serta cemas. Tetapi, ia tidak lagi berada di bawah pengaruh kecemasan sebab ia mulai memurnikan diri, dan merendahkan diri di hadapan Allah. Percikan cahaya itu menjadi semakin kuat dan semakin terang benderang; semakin jiwa itu menjadi bening seperti kristal, semakin dalam berkas-berkas sinar itu menembusnya. Kalau jiwa sudah setia dan berani menanggapi rahmat awal ini, Allah memenuhinya dengan penghiburan-penghiburan-Nya dan memberikan Diri kepadanya dengan cara yang amat jelas. Pada saat-saat tertentu, jiwa akan merasakan kemesraan dengan Allah dan karenanya ia sangat bersukacita; ia percaya bahwa ia telah mencapai tingkat kesempurnaan yang ditentukan baginya sebab kekurangan dan kesalahan-kesalahannya sudah larut di dalamnya, dan ini membuat dia berpikir bahwa semua kekurangan itu sudah tidak ada lagi. Tidak ada suatu pun yang tampak sulit baginya; ia siap melakukan apa saja. Ia mulai membenamkan dirinya dalam Allah dan mengecap kesukaan-kesukaan ilahi. Ia dituntun oleh rahmat dan tidak memperhitungkan kenyataan bahwa saat pencobaan dan ujian akan tiba. Dan, sungguh, keadaan ini tidak berlangsung lama. Saat-saat lain akan segera muncul. Tetapi di sini harus aku tambahkan bahwa jiwa akan dengan lebih setia menanggapi rahmat ilahi kalau ia memiliki seorang bapak pengakuan yang sungguh tahu, yang kepadanya ia dapat mempercayakan segala sesuatu.

(96) 

Pencobaan-pencobaan ilahi dalam jiwa yang sangat dicintai oleh-Nya.

Pencobaan dan kegelapan Setan.

Cinta jiwa belum serupa dengan yang dikehendaki Allah. Secara tiba-tiba, jiwa akan kehilangan [kesadaran] akan kehadiran Allah. Beragam kekurangan dan ketidaksempurnaan muncul di dalamnya, dan jiwa harus berjuang gigih melawannya. Semua kesalahannya bermunculan meninggikan kepada, tetapi jiwa itu sungguh waspada. Kesadaran pertama tentang kehadiran Allah mengenyahkan kebekuan dan kegersangan jiwa; jiwa tidak lagi menikmati latihan-latihan rohani; ia tidak dapat berdoa, entah dengan cara lama, entah dengan cara sekarang ia berdoa. Ia berjuang dengan cara ini dan itu, tetapi tidak dapat menemukan kepuasan. Allah telah menyembunyikan diri dari dia, dan ia tidak dapat menemukan penghiburan dalam ciptaan, juga tidak satu makhluk pun dapat menghibur dia. Jiwa itu merana karena sangat merindukan Allah, tetapi yang ia lihat adalah kepapaannya sendiri; ia mulai merasakan keadilan Allah. Ia merasa bahwa dirinya telah kehilangan segala karunia yang telah diberikan Allah kepadanya; akal budinya meredup, dan kegelapan memenuhinya; siksaan yang tak terperikan mulai terasa. Jiwa itu berusaha menjelaskan keadaannya kepada bapak pengakuan, tetapi ia tidak dipahami dan diserbu oleh kegelisahan yang bahkan semakin besar. Setan memulai pekerjaannya.

(97) 

Imam terhuyung-huyung di bawah himpitan; pergulatan semakin mengganas. Jiwa berusaha keras untuk berpaut kepada Allah dengan membangun niat. Dengan izin Allah, Setan melangkah lebih jauh; harapan dan cintanya pun mulai diuji. Godaan-godaan ini sungguh mengerikan Diam-diam, katakan demikian, Allah menopang jiwa itu. Jiwa itu tidak sadar akan hal ini, tetapi kalau tidak ditopang Allah, mustahil ia dapat tetap teguh; dan Allah mengenal dengan baik seberapa banyak Ia dapat mengizinkan jiwa itu dicobai. Jiwa itu dicobai agar tidak mempercayai kebanaran-kebenaran yang diwahykan dan agar tidak jujur terhadap bapak pengakuan. Setan berkata kepadanya,

“Lihat tidak seorangpun memahami kamu, mengapa kamu berbicara mengenai semua ini?”

Kata-kata yang mengerikan menggelegar di telinganya, dan jiwa itu merasa bahwa ia sedang mengucapkan kata-kata itu melawan Allah. Ia melihat apa yang tidak ingin ia lihat. Ia mendengar apa yang tidak ingin ia dengar. Dan, oh, sungguh mengerikan bahwa pada saat seperti ini ia tidak memiliki seorang bapak pengakuan yang berpengalaman! Sendirian jiwa itu menanggung seluruh bebannya. Tetapi, orang harus melakukan segala daya upaya untuk menemukan, kalau mungkin, seorang bapak pengakuan yang sungguh paham karena jiwa itu dapat binasa tertindih beban dan berada di tebing jurang. Semua cobaan ini berat dan sulit. Allah tidak mengirimnya kepada suatu jiwa yang belum pernah merasakan kemesraan dengan-Nya dan yang belum pernah mengecap kesukaan-kesukaan ilahi. Di samping itu, dalam hal ini Allah memiliki rencana-Nya sendiri, yang tidak dapat kita pahami. Sering kali, dengan cara ini, Allah mempersiapkan suatu jiwa untuk rencana-rencana dan karya-karya besar-Nya yang masih akan datang. Ia ingin mengujinya seperti emas murni diuji dengan api. Tetapi, ini belumlah akhir dari pencobaan; masih ada cobaan yang paling berat ketika jiwa merasa sama sekali ditinggalkan Allah.

(98) 

Cobaan Paling Berat, Sama Sekali Ditinggalkan - Keputusasaan.

Ketika jiwa keluar dari cobaan-cobaan sebagai pemenang meskipun tersandung di sana-sini, ia terus berjuang dengan gigih, sambil dengan rendah hati berseru kepada Allah, “Selamatkanlah aku sebab aku binasa!” MAka, ia masih akan mampu berjuang terus.

Tetapi, pada tahap ini, jiwa tenggelam dalam malam yang mengerikan. Yang ia lihat dalam dirinya hanya dosa. Ia merasa ketakutan. Ia melihat dirinya sama sekali ditinggalkan oleh Allah. Ia merasa dirinya menjadi sasaran kebencian Allah. Tinggal satu langkah lagi ia akan menjadi putus asa. Jiwa itu berusaha sebaik-baiknya untuk membela diri; ia berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya; tetapi semakin ia berdoa, semakin ia merasa tersiksa, seolah-olah doa ini semakin membangkitkan murka Allah. Jiwa itu mendapati dirinya ditempatkan di puncak suatu gunung yang tinggi, persis di pinggir suatu jurang.

Jiwa itu sangat tertarik pada Allah, tetapi ia merasa ditolak. Semua penderitaan dan siksaan lain di dunia bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kengerian yang mencekam jiwa itu, yakni, ditolak oleh Allah. Tak seorang pun dapat memberikan kelegaan kepadanya; ia mendapati dirinya sungguh-sungguh sebatang kara; tidak ada seorang pun yang membelanya. Ia menengadah ke surga, tetapi ia yakin bahwa surga itu bukan untuknya - karena segala yang ia miliki sudah lenyap. Ia tenggelam makin lama makin dalam, dari kegelapan ke dalam kegelapan, dan ia merasa bahwa ia telah selama-lamanya kehilangan Allah, yaitu Allah yang biasa ia cintai dengan begitu mesra. Pikiran ini merupakan suatu siksaan yang tidak dapat dilukiskan. Tetapi, jiwa itu tidak menyerah, dan ia berusaha mengarahkan pandangannya ke surga, tetapi sia-sia! Dan ini membuat siksaan semakin pedih.

(99) 

Kalau Allah ingin menahan jiwa itu dalam kegelapan yang sedemikian pekat, tak seorang pun akan mampu memberikan terang kepadanya. Ia merasa ditolak oleh Allah dengan cara yang keras dan mengerikan. Dari dalam hatinya, meluncur keluh kesah yang memilukan sehingga tak seorang imam pun akan memahaminya kecuali kalau ia sendiri sudah pernah mengalami cobaan-cobaan seperti ini. Di tengah-tengah siksaan ini, Setan menambah penderitaan jiwa itu dengan mengolok-oloknya,

“Apakah engkau akan bertahan dalam kesetiaanmu?

Inilah ganjaranmu; engkau ada dalam kekuasaan kami!”

Tetapi, Setan hanya memiliki kekuasaan atas jiwa itu sebatas Allah mengizinkannya, dan Allah tahu seberapa berat beban yang dapat kita tanggung.

“Apa yang telah engkau peroleh dari mati raga-mati ragamu” tanya Setan, “dan dari kesetiaanmu kepada peraturan? Apa gunanya semua usaha itu? Engkau telah ditolak oleh Allah!”

Kata “ditolak” ini menjadi ibarat api yang menyambar setiap saraf sampai ke sumsum tulang. Ia menusuk tepat mengenai seluruh dirinya. Siksaan itu mencapai puncaknya. Jiwa itu tidak agi mencari pertolongan ke mana pun. Ia menjadi kecut dan tidak mampu melihat apa-apa lagi; seolah-olah ia telah menyerah, menerima siksaan karena ditinggalkan Allah. Inilah saat yang tidak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Inilah sakratulmaut jiwa.

Ketika untuk pertama kalinya saat siksaan itu mendekat, aku direnggut darinya oleh kuasa ketaatan suci. Karena cemas akan penampilanku, suster pimpinan para novis menyuruhku pergi mengaku dosa tetapi bapak pengakuan tidak memahamiku, dan aku sama sekali tidak mengalami kelegaan. O Yesus, berilah kami imam-imam yang berpengalaman!

Ketika aku bercerita kepada imam bahwa aku mengalami siksaan neraka dalam jiwa, ia menjawab bahwa ia tidak mencemaskan jiwaku sebab ia melihat dalam jiwaku rahmat Allah yang besar. Tetapi, aku sama sekali tidak memahami hal ini, dan bahkan terang yang samar-samar pun tidak memancar dalam jiwaku. 

(100) 

Kemudian, kekuatan ragaku mulai meninggalkan aku, dan aku tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugasku. Juga aku tidak mampu lagi menyembunyikan penderitaan-penderitaanku. Meskipun aku tidak mengatakan sepatah kata pun tentang deritaku, rasa sakit yang membayang di wajahku tidak dapat menyembunyikan keadaanku. Pimpinan mengatakan kepadaku bahwa para suster telah datang kepadanya sambil mengatakan bahwa, apabila mereka melihatku di kapel, mereka tergerak oleh belas kasihan karena aku tampak sedemikian memprihatinkan. Tetapi, kendati semua usaha, jiwaku tidak mampu menyembunyikan penderitaan yang sedemikian berat.    


Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku

Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku (Audio)

Refleksi Harian Kerahiman Ilahi